Allah Maha Baik

19.4K 2.8K 41
                                        

Untuk kesekian kalinya aku menangis saat melihat Laura. Keningnya di penuhi oleh peluh padahal hari masih sangat pagi, nafasnya terengah-engah tak beraturan.

"Kamu jalan kaki lagi? Kenapa tidak minta jemput aku, tadi aku di antarkan kak Adi?"

Laura tersenyum canggung, matanya terlihat berkaca-kaca. Kalau ia sudah tersenyum seperti itu, aku tahu kalau ia tidak bisa memberi jawaban untuk pertanyaanku.

"Yasudah ayo ke kelas, sepuluh menit lagi masuk!" Aku merangkul tangan Laura.

"Aw.." ringis Laura saat aku merangkul tangannya.

"Kenapa tanganmu?" tanyaku saat melihat tangan Laura yang membiru tepat dibagian atas siku.

Lagi-lagi Laura hanya tersenyum dan berkata kalau semuanya baik-baik saja. Namun aku yakin kalau kini Laura tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Kehidupan Laura benar-benar telah berubah 180 derajat, dulu Laura selalu diantarkan oleh papanya. Namun sekarang papanya tak lagi pernah mengantarnya, ia pergi dan pulang sekolah dengan menggunakan angkot, padahal dulu ia tidak pernah naik angkot, bahkan naik taksipun sangat jarang. Bila mama dan papanya tidak bisa mengantar dan menjemputnya di sekolah, maka kakaknyalah yang akan siap siaga mengantar jemputnya, namun kini baik mama, papa dan kakaknya seakan tak peduli lagi padanya, bahkan kini tak jarang Laura pergi ke sekolah dengan berjalan kaki padahal jarak sekolah dengan rumahnya cukup jauh, hal itu ia lakukan karena ia tidak di beri uang saku oleh kedua orang tuanya. Darimana aku tahu hal itu? Karena secara tidak sengaja saat aku menunggu Laura di depan rumahnya untuk pergi kerja kelompok di salah satu rumah teman kami, aku mendengar Laura meminta uang kepada mamanya, namun mamanya tidak memberinya uang, mamanya malah berkata kepada Laura dengan kata-kata yang sungguh berhasil membuatku terperangah kaget, "Mintalah uang kepada Tuhan mu, Laura. Bukannya kamu bilang ke Mama kalau Tuhan mu Maha Baik dan Maha Kaya, jadi kenapa kamu malah minta uang kepada mama? Mulai sekarang mama dan Papa tidak akan memberimu uang saku, dan Kak Marcel pun tidak akan memberimu uang," itulah yang mamanya katakan, dan semenjak kejadian itu aku tidak pernah lagi melihat Laura jajan di kantin saat istirahat, bahkan setelah kejadian itu Laura sangat sering pergi ke sekolah dengan berjalan kaki.

Meskipun aku tahu alasan Laura pergi ke sekolah selalu berjalan kaki karena ia tidak lagi di beri uang saku oleh kedua orang tuanya, namun aku tetap mengajukan sebuah pertanyaan pada Laura, "Kenapa kamu sekarang jalan kaki terus saat ke sekolah? Apa tidak cape? Bukannya dulu kamu pernah bilang ke aku kalau kamu benci jalan kaki, soalnya kalau jalan kaki badan kamu yang selalu wangi jadi bau keringat?" itulah pertanyaan yang aku ajukan pada Laura, meskipun saat mengajukan pertanyaan itu bibirku melukiskan senyum geli namun pada kenyataannya hatiku meringis sakit.

Aku kira setelah mendengar pertanyaanku Laura akan langsung mencurahkan kesedihannya padaku, namun tebakkanku salah besar. Laura tersenyum dengan begitu lebar dan aku yakin kalau senyuman itu langsung dari hatinya, bukan senyuman yang dibuat-buat karena senyuman itupun terpancar dari mata coklatnya yang bening cemerlang.

"Allah memberi kita sepasang kaki untuk berjalan. Kamu tahu, Shi? Setiap langkah kaki kita Allah berikan pahala apalagi kalau kaki itu kita pergunakan untuk menuju tempat yang Allah ridoi. Sekolah adalah tempat menimba ilmu,  tentu sekolah termasuk kedalam salah satu tempat yang Allah ridoi untuk di datangi oleh hamba-hambanya. jadi setiap langkah kakiku akan Allah beri pahala... Allah sungguh baik," ucap Laura ceria, "Dulu aku memang benci jalan kaki namun sekarang aku malah menyukainya karena setiap aku melangkahkan kakiku, aku sadar kalau Allah sangatlah baik kepadaku karena telah memberiku sepasang kaki yang dapat aku pergunakan untuk berjalan, di luar sana masih banyak orang-orang yang kurang beruntung, mereka berdiri di atas lutut mereka, bahkan mereka berjalan dengan bantuan kedua telapak tangan mereka," saat mengatakan itu barulah tangis Laura pecah, namun aku yakin tangisan itu bukan tangisan kesedihan namun tangis itu adalah tangis syukurnya pada Allah, "Allah sungguh baik... saking baiknya Ia hingga aku tak bisa melukiskan kebaikkan-Nya dengan sebuah perkataan..."

Saat itu aku pun ikut menangis bersama Laura, kini aku menangis bukan karena aku merasa kasihan dengan Laura namun aku menangis karena kini aku pun merasakan apa yang telah Laura rasakan, tangisan ini adalah tangisan syukurku kepada Allah yang telah berbaik hati membentukku dalam rupa yang sempurna, tak ada satupun yang kurang dari tubuhku, namun karena kesombongan yang menyelimuti hatiku aku malah tak pernah mensyukuri ini semua.

Maafkan kesombongan hambamu ini Ya Allah.

Bogor, 22 Ramadhan 1438H
Ika Fitriani

Laura | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang