11. Bibir lo berdarah, kita ke UKS.

58 2 11
                                    

[No edit]

Sepeninggalnya Pak Mulyono sejam lalu, kelas terlihat sangat jauh dari kata rapi. Beberapa meja dan kursi tergeser dari tempatnya. Bahkan kursi dan meja guru pun tergeser. Penghuni kelas tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Di pojok sebelah kiri, Melodi sedang mencatat hasil peninggalan Pak Mulyono di papan tulis depan sana. Di depan dan samping kanannya terdapat tiga temannya yang sudah ada semenit setelah keluarnya Pak Mulyono.

"Banyak amat perasaan, sini gue yang lanjutin," tawar Nada begitu melihat Melodi yang sedang mengibas-ngibas tangannya.

"Lo mau gue dihukum pas pemeriksaan catatan?"

Nada menggeleng dengan wajah polosnya. Gadis itu sedikit meringis saat melihat tatapan sinis yang diberikan Melodi, sedangkan Lita dan Dina yang sedang sibuk dengan ponsel masing-masing tampak tak acuh.

"Gue liat akhir-akhir ini kayaknya lo banyak berkomunikasi sama Chandra deh," ujar Dina sambil melipat kedua tangannya di atas meja. Mata gadis itu menyimpit menatap Melodi yang tampak salah tingkah. "Huh, nggak cerita-cerita ya lo."

Melodi menghembuskan napas berat sebelum menutup buku catatannya. "Ngapain cerita? Nggak penting juga, lagi pula gue sama Chandra kalau setiap ketemu ya nggak sengaja juga, ngobrolnya juga bukan tentang apa-apa yang penting."

Lita berdeham pelan. "Senang nggak?" tanya Lita sambil menaik turun 'kan alisnya.

"Senang sih," jawab Melodi pelan sedetik berikutnya gadis itu menggigit pipi dalamnya guna menahan senyum. Namun sedetik berikutnya wajah Melodi berubah menjadi murung. "Diary gue ilang."

Lita adalah orang pertama yang memelototi Melodi. "Sumpah lo? Melodi ya Allah, di situ ada curhatan hati gue tentang Reza!" pekikan Lita membuat sekelompok perempuan itu menjadi pusat perhatian, dan Melodi kesal akan kenyataan itu.

"Ish! Lebay banget sih." Dina mendengkus menatap Lita yang mendadak terdiam.

"Masalahnya di--"

"Punya lo cuman satu 'kan? Punya Melodi yang banyak aja tu ni anak nggak selebay lo."

Mendengar ucapan Dina membuat Melodi memejamkan mata. Sudah dua hari diarynya belum juga ketemu, dan Melodi nggak pernah bisa tidur dengan nyenyak hanya karena selalu kepikiran benda kotak kecil tersebut.

"Bukannya di dalam diary itu ada curhatan lo tentang kedekatan lo sama Kak Arga?"

"Jadi gosip yang beredar itu beneran? Lo suka dekat-dekat sama cowok gue? Kehabisan stok cowok ya?"

***

Suara gelak tawa dari pojok kelas terdengar begitu besar, terlebih lagi di tengah kesunyian kelas yang hampir seperti kuburan itu. Bukan, karena tidak ada orang tapi karena mereka sibuk dengan kegiatan mencatat Pr Matematika yang ditawarkan Farel secara sukarela untuk disalin, minus lima cowok yang duduk di pojok kelas di atas lantai.

"Gue inget banget saat itu, hahaha," ucapan dari cowok bernama Ibran itu membuat ke empat cowok yang sedang tenggelam dalam imajinasi masing-masing kembali tertawa. "Gue kalau jadi tu cewek sih bakal langsung pura-pura pingsan," di akhir ucapannya Ibran kembali tertawa. Karena bayangan dari apa yang sedang mereka bahas kembali muncul di kepalanya.

"Astagfirullah, Hahaha...."

"Tapi mental tu cewek bagus juga, langsung berdiri, lucunya langsung lari dengan keadaan celana yang sobeknya udah semakin besar."

Aron yang sudah tak mampu menahan rasa BAKnya langsung berlari keluar kelas dan menuju tempat pembuangan. Sebenarnya, jika dia tidak berada dalam kejadian yang terjadi sekitar sebulan lalu, Aron gak bakal sampai sebegitu tertawanya. Tapi saat itu dia tepat berada di depan gadis itu.

[1] Somebody ElseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang