1

23.7K 472 23
                                    

Aku tidak habis pikir, Lendra tidak membalas semua pesan ku. Aku sudah mengirim 5 atau 6 kali pesan hampir ke setiap social chat yang biasa aku lakukan dengannya. Mulai BBM, WhatsApp, Line, Facebook Messenger bahkan sms, semua tidak terbalas.

Hmmm... Dia tuh memang paling pandai memainkan perasaan perempuan, terutama perasaanku. Dan aku benci itu. Aku benci dia. Tapi semakin aku membencinya, semakin aku merindukannya. Sialan kamu Lendra!

Tapi ini sudah keterlaluan. Sudah melewati batas toleransi yang bisa aku terima. Sudah beberapa hari ini dia tidak berkabar. Aku tahu dia baik-baik saja, sedangkan aku tidak. Situasi seperti ini sungguh menyiksaku.

Ku hempaskan kepalaku dalam-dalam pada bantal hijau motif Winnie the Pooh. Kini bantal itu mulai basah dengan air mata. Aku berharap tokoh beruang kartun gemuk yang doyan madu itu tiba-tiba hidup lalu mengelus-ngelus kepalaku.

'Nadia bodoh! Nadia bodoh! Nadia bodoh!' Seruku dalam hati.

Ingin sekali aku meneleponmya, tapi tentu saja aku harus siap menerima konsekuensi yang nanti akan aku terima jika aku berani meneleponnya. Dan aku belum siap untuk itu. Oh, tidak. Tidak. Membayangkan saja membuatku sudah merinding.

Aku sudah lihat status semua social media yang dia punyai, atau paling tidak yang dia izinkan aku untuk menjadi temannya, semua baik-baik saja. Tidak ada status yang aneh.

Sebenarnya memang bukan sifat Lendra untuk memajang apa yang ada di dalam hatinya menjadi konsumsi publik. Dia benci memberitahukan apa yang dia rasakan. Bahkan kepadaku sekali pun. Aku benci itu.

Tapi aku harus meneleponnya. Aku sangat rindu padanya. Pada suaranya. Pada matanya. Pada sifat kebapakannya.

Dan pada sifat cerewetnya bila berkenaan dengan makanan. Dia sangat pemilih.

Aku sangat merindukan itu semua. Pakai banget!

Diketik dengan huruf tebal, pakai underline, dan diblok dengan warna kuning stabilo!

Tiga tahun kenal dengan Lendra, ini bukan lah air mata pertamaku. Bahkan Lendra sering membuatku menangis. Tapi dia cepat pula membuatku lupa akan air-mata ku hanya dengan sebuah kata 'Hi!'.

Masa bodoh!

Aku harus meneleponnya.

Aku harus tahu ada apa dengan hubungan kami. Itu pun kalau dia menganggapnya demikian.

Aku sampai pada titik kesimpulan terakhir bahwa aku harus meneleponnya dengan segala resiko yg harus aku terima.

Aku mengumpulkan kekuatan untuk menekan tombol hijau yang ada di layar hape ku. Beberapa detik setelah aku menarik nafas dalam-dalam dan...

"Hallo." Suara wanita diujung sana.

Darn! I knew it! I've guessed it! Tapi aku harus tenang. 'Tenang Nadia! Tenang!'

"Selamat pagi, Bu." Aku menggunakan bahasa seformal mungkin untuk menutupi kegugupanku. Setelah hati-hati menyebutkan nama lengkap Lendra plus embel-embel 'Bapak', aku menanyakan keberadaan 'beliau'.

"Bapak lagi mandi, Mbak. Ada perlu apa ya?"

Darn! Super duper darn! Ini! Ini! Aku harus jawab apa ini? 'Ayo Nadia! Think! Think!'

"Kami dari lembaga survey kepuasan konsumen, Bu, kebetulan secara acak nomor Bapak muncul di layar kami." Rasanya aku sudah kehabisan nafas.

"Oh, begitu. Tapi Bapak lagi mandi tuh. Nanti silahkan telpon kembali ya, Mbak."

"Baik, Bu, terima kasih banyak. Maaf dengan siapa saya berbicara?"

Jangan pingsan!

Jangan pingsan!

Jangan pingsan!

"Saya istrinya."

(Bersambung)

Nadia (Maafkan aku mencintai suamimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang