9

6.5K 201 11
                                    

Lendra! Bikin kaget saja!

"Darimana aja sih! Kenapa Line ku gak dibalas?" Nyebelin banget.

Lendra cuma tersenyum. Dia melihat ke arah pramusaji lalu melambaikan tangannya.

"Kenapa?" Dia bertanya, matanya kembali melihat ke arahku.

"Lama. Tahu!" Aku memasang tampang bersungut-sungut.

"Macet." Jawab Lendra pendek. Lalu tubuhnya berputar ke belakangan.

"Mbak, saya white tea aja ya.... Nggak. Saya nggak makan. Terima kasih."

"Harusnya bisa balas Line ku dong kalau macet gitu kan mobil gak jalan? Masak tinggal nulis lagi di jalan gitu aja gak bisa?" Aku masih merajuk.

"Hei, what's wrong with you?" Lendra menatapku datar.

"Aku sudah disini, kan?"

"Jadi, malas balas Line ku?" Aku setengah gusar. Aku kenapa ya? Kok jadi sensi sendiri?

"Kamu lagi dapat, ya?" Lendra berusaha mencairkan suasana.

"Aku tuh dah lama nunggu kamu disini. Hargai dikit kek. BBM atau apa gitu."

Aku ini kenapa, sih?

Toh Lendra sudah dihadapanku.

Lendra menatapku datar. Tidak ada senyuman. Wajahnya sekarang terlihat lelah.

Maaf ya, Mas. Aku kangen kamu sebenarnya. Aku tahu aku tidak bisa memilikimu.

Jadi dua atau tiga jam ditiap Sabtumu sungguh sangat berharga bagiku.

Aku tidak mau kehilangan waktu bersamamu walau hanya 20 menit.

White tea pesanan Lendra sudah datang. Teko mini dan sebuah cangkir bening. Tidak ada mangkuk berisi gula karena white tea memang tidak disandingkan dengan pemanis.

"Tumben gak pesan kopi?" Aku bertanya dari pada hanya melihat Lendra yang pelit suara dari tadi.

Lendra mendongak sesaat lalu menuangkan isi teko secara perlahan ke dalam cangkir.

"Sekali-kali boleh lah. Bosan minum kopi terus."

"Aku gak bosan dengan lemon squash." Apa dia mulai bosan dengan hubungan ini?

Lendra tidak menyahut. Dia sibuk meniup-niup tepian cangkir sebelum meneguk teh yang telah dituangkannya.

"Kamu kenapa, sih?"

Ada apa dengan kamu, Mas?

"Kenapa? Nothing. I'm fine. Cuma agak sibuk aja. Terus tadi itu macet. Capek boleh dong. Aku kan manusia juga." Dingin sekali. Ada apa dengan kamu, Mas?

Aku cuma diam. Kaku. Aku tidak berani merajuk lebih. Karena memang kami tidak ada ikatan resmi.

Jadi aku tidak berhak meminta lebih. Hubungan kami memang hubungan gelap, tapi kami tidak selingkuh.

Hubungan kami memang hanya sebatas teman ngobrol di café atau teman nonton. Berdua.

Tiap Sabtu. Mostly. Tapi aku merasa aku sudah memiliki Lendra. Dan itu cukup bagiku. Dua atau tiga jam dengan Lendra.

Gertakan Lendra memintaku jadi istri kedua hanyalah impian yang tak kunjung ternyatakan. Pun kesanggupanku menjadi istri kedua bagi Lendra hanyalah sebatas pemanis bibir semata.

Niat kami hanya tersimpan rapat di dalam hati.

Aku tidak tahu apakah Lendra pernah serius dengan pertanyaannya, pun begitu Lendra tidak pernah tahu apakah aku juga benar bersedia menjadi istri keduanya bila pertanyaan yang diucapkan Lendra benar adanya.

Tidak ada dari kami berdua yang berani bertanya. Kami hanya teman ngobrol, teman nonton saja.

Tiba-tiba telpon genggam Lendra berbunyi. Dia melihat ke layar teleponnya lalu melihat ke arahku sembari beranjak dari duduknya.

"Sebentar."

Lendra keluar dari pintu café. Dari dalam aku bisa melihat dia sibuk menjawab siapapun yang sedang meneleponnya.

Tangannya bergerak-gerak seperti sedang menjelaskan sesuatu. Istrinya kah?

Lendra kembali masuk dengan wajah yang lebih serius dari sebelum ia keluar dari café ini. Sepertinya sesuatu telah terjadi.

"Maaf, Nad. Aku harus pergi."

Aku terperanjat.

(Bersambung)

Nadia (Maafkan aku mencintai suamimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang