Seperti sebuah benda keras menghantam bagian belakang kepalaku. Apa yang istri Lendra ketahui?
"Saya tidak paham...."
Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Tolong. Kakiku mulai lemas. Aku terduduk di lantai samping tempat tidurku. Tubuhku terlalu lunglai untuk tegak.
"Begini saja Mbak Nadia. Kalau mbak Nadia tidak keberatan, saya ingin bertemu dengan Mbak."
Apa? Bertemu? Dengan istrinya Lendra?
Oh, tidak!
Tidak!
Tidak!
Tentu saja tidak!
Aku tidak mungkin bilang 'iya'.
"Saya jam 10 jemput anak saya dari sekolah. Kita bisa ketemu di restoran fast-food dekat sekolah anak saya."
Istri Lendra menyebutkan tempat anaknya bersekolah. Aku tahu tempat itu. Searah dengan kampusku.
Dekat malah. Tapi yang aku tidak tahu, apakah aku sanggup bertemu dengan istri Lendra?
"Maaf, tapi saya ada bimbingan nanti jam 10 pagi." Bibirku gemetar.
"Oh, masih kuliah? Kuliah dimana?"
Samar-samar aku mulai mendengar suara isak tapi tertahan.
Damn!
Apa aku harus jujur?
Atau harus berbohong?
Jujur?
Gak?
Jujur?
Gak?
Lalu aku menyebutkan nama kampus tempat aku mengejar gelar sarjanaku.
"Oh, disitu. Rasanya itu tidak terlalu jauh dari sekolah anak saya, ya?"
"Iya. Tapi maaf, saya benar-benar tidak bisa hari ini. Soalnya lagi bimbingan skripsi." Tubuhku menempel pada tepi tempat tidurku, aku merasa sudah tidak memiliki tulang belakang lagi.
Suara nafas tertahan.
"Baiklah. Saya tidak memaksa. Tapi sebenarnya saya ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan saya selama dua tahun terakhir ini."
Aku cuma bisa diam. Sungguh pun aku tahu apa yang dimaksud oleh istri Lendra.
"Saya sudah cukup lama bersabar." Suara isak terdengar semakin jelas.
"Iya. Maaf ya, Mbak."
Maafkan aku. Maafkan aku.
Tidak ada sahutan.
Telepon ditutup.
Aku mematung.
Aku harus bagaimana?
Aku harus bagaimana?
Aku memandang tembok dihadapanku, seolah aku menemukan lukisan antik yang telah lama hilang.
Saat ini aku sedang mengamati detailnya.
Dan waktu berjalan sangat lambat.
—
Waktu terasa melayang begitu cepat.
Tidak terasa ini adalah tahun ketiga aku telah menjalin hubungan dengan Lendra. Sejak lelucon 'istri kedua' Lendra, kami menjadi lebih dekat.
Lelucon itu justru sebagai penanda hubungan kami.
Aku masih ingat aku menggoda Lendra dengan berpura-pura mengatakan 'iya' pada tawarannya.
Dan betapa kami tertawa bermenit-menit sesudahnya. Lalu terdiam pada lamunan kami masing-masing.
Sejak saat itu kami menjadi lebih dekat. Hampir setiap ada kesempatan aku bertemu dengan Lendra.
Seringnya nonton. Hari Sabtu seolah menjadi hari wajib bagi kami untuk bertemu. Nonton film terbaru atau sekedar dudukan di Rumah Kopi.
Ya, hubunganku dengan Lendra hanya sebatas itu. Hanya sejauh itu. Kami tidak pernah berniat yang lebih jauh dari sekedar bertemu di hari Sabtu.
Dan Sabtu ini, sama seperti Sabtu-Sabtu yang lain. Sepulang dari kantor jam 12 siang, Lendra akan menemuiku di tempat ini.
Karena tidak ada film lagi yang akan kami tonton.
Aku dan Lendra akan menghabiskan sore kami di Rumah Kopi.
Dia akan memesan expresso dan mungkin black pepper spaghetti. Sedangkan aku akan memesan lemon squash dan cheese cake favoritku.
13:15
Biasanya jam segini Lendra sudah sampai di tempat parkir. Aku sudah memesan lemon squash dan cheese cake. Tinggal menunggu kedatangan Lendra.
Aku buka Line.
13.16 [Dimana?]
Tidak terbaca. Mungkin masih dijalan.
13:35
Aku meletakkan teleponku kembali. Lendra masih belum muncul bahkan pesan di Line masih belum terbaca.
Sensor bete ku mulai naik. Sebel kalau aku harus menunggu lama seperti ini.
Biasanya 13:15 Lendra sudah meneleponku atau sekedar bertanya 'dimana?' walau kami berdua sudah menjadikan Rumah Kopi sebagai point of meeting selama 3 tahun ini.
Aku tengok Line ku lagi.
Read 13.16 [Dimana?]
Nah tuh dibaca. Berarti dia sudah sampai. Kok gak dibalas sih?
Tiba-tiba pundakku ditepuk seseorang.
"Hai!"
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadia (Maafkan aku mencintai suamimu)
ChickLitKetika Takdir atau keadaan membawa Nadia pada CINTA dari Suami Orang Apakah Bertahan atau berpisah ? Vote setelah membaca !!