10

6.6K 208 5
                                    

Aku tak habis pikir. Lendra harus pergi setelah menerima telepon barusan. Aku ingin meledak saja rasanya.

Dengan tergesa ia mengambil barangnya di meja dan berjalan menuju ke kasir.

"Apa apa?" Aku sebenarnya ingin marah. Tapi siapakah aku?

"Istriku telepon." Jawab Lendra sambil membereskan tagihan kami di meja kasir.

"Ambil aja kembalinya, Mas."

Aku mengikuti Lendra dari belakang.

"Maaf ya, Nad, aku tidak bisa mengantarmu pulang hari ini. Aku agak buru-buru. Kamu bisa naik taksi?"




Taksi yang kutumpangi seolah tahu isi hatiku. Ia berjalan pelan sekali seolah enggan segera sampai ke tempat yang hendak aku tuju.

Aku tidak ingin menegur sopir. Lagian aku juga tidak buru-buru.

Aku memang enggan segera sampai. Lebih tepatnya, takut!

Sejak Lendra menyuruhku naik taksi Sabtu lalu, aku merasa memang ada yang harus kami selesaikan karena sejak kejadian itu, dia tidak berkabar sama sekali.

Tiba-tiba dia minum white tea dan aku terpaksa pulang naik taksi bukanlah kebiasaan kami. Lendra selalu mengantarku pulang, walau hanya sampai ujung gang.

Sesungguhnya aku hampir meledak ketika Lendra menyuruhku naik taksi minggu lalu.

Sungguh keterlaluan. Pertemuan kami berakhir dengan sesuatu yang tidak biasa.

Tidak ada BBM, WhatsApp, Line, Facebook Messenger, bahkan sms sesudahnya.

Lendra seperti hilang dari muka bumi. Dan akhirnya aku melanggar larangan Lendra untuk tidak meneleponnya ketika ia berada di rumah.

Aku sengaja meneleponnya tadi pagi.

Dan hasilnya, sekarang aku harus menemui seseorang yang paling tidak ingin aku temui.

Ya, aku memutuskan untuk menemui Astuti. Istri Lendra.

"Pak. Pak. Sudah hijau tuh." Rupanya sopir taksi ini agak melamun, dia tidak menghiraukan bahwa lampu lalu lintas telah berubah hijau.

Aku menelepon Astuti tadi pagi setelah melewati beberapa kali perdebatan batin.

Tiga puluh menit dibawah guyuran shower mampu membuat kepalaku jadi dingin. Aku mengambil keputusan untuk bertemu dengan seseorang yang paling aku hindari.

Aku harus berani menceritakan semuanya. Dan menerima apapun yang hukuman yang akan aku terima. Karena aku memang tidak bersalah. Aku tidak pernah berselingkuh dengan Lendra.

Astuti memintaku bertemu di tempat yang dia sebutkan di telepon tadi pagi.

Di sebuah restoran siap saji yang sangat terkenal bagi anak-anak.

Tak terasa taksi yang kutumpangi sudah menepi.

Aku buru-buru mengeluarkan beberapa pecahan dan menyerahkan ke sopir yang mengenakan seragam warna biru tersebut.

"Ambil aja kembalinya, Pak." Ujarku sebelum menutup pintu belakang.

Mungkin sopir tadi sempat mengucapkan terima kasih, tapi aku buru-buru menutup pintu dan berlalu. Pikiranku hanya terpaku pada Astuti saat ini. Apa yang harus aku katakan.

'Halo, saya Nadia, teman nonton Lendra. Dan kami tidak berselingkuh.' Great! Just great!

Restoran ini cukup besar, ia memiliki 2 pintu depan. Pintu utama dan pintu utara. Aku masuk dari pintu utara. Karena agak kecil, mungkin lebih tepat jika disebut pintu samping.

Restoran yang menyajikan menu ayam goreng sebagai menu utama ini selalu ramai. Aku ragu apakah aku akan menemukan Astuti ditempat seramai ini. Mungkin aku harus meneleponnya.

Aku baru hendak mengangkat teleponku ketika seorang wanita menghampiriku.

"Nadia?" seperti suara Astuti.

"Saya Astuti." Iya, dia Astuti. Kok dia bisa mengenali aku. Apakah dia pernah melihat photoku?

"Iya Mbak. Saya Nadia." Tanganku terulur, tapi Astuti sudah berlalu kembali menuju mejanya.

Seorang anak laki-laki sedang makan di sana. Anaknya Lendra. Sebentar lagi dia berusia 5 tahun.

Dengan langkah berat aku mengikutinya. Seolah aku hendak menuju rumah pesakitan dan dakwaan ku adalah hukuman seumur hidup.

"Silahkan duduk, Nadia." Astuti mencoba berbaik-baik padaku.

Aku tersenyum. Mencoba menahan diri supaya tidak terjatuh. Aku sudah gemetar setengah mati.

"Maaf, Mbak, saya ingin menjelaskan mungkin Mbak salah paham...." Aku mencoba memulai percakapan.

"Sudah Berapa lama Nadia kenal Mas Lendra?" Astuti memotong dengan suara yang tertahan.

Tubuhku tiba-tiba menggigil.

(Bersambung)

Nadia (Maafkan aku mencintai suamimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang