5

9.7K 233 10
                                    


Aku belum mendapat jawaban hingga Lendra benar-benar turun dari dek atas dan sekarang ia berada disamping ku.

"Main IG juga?" tanya Lendra.

"Kadang-kadang saja, Mas. Tapi penasaran ama photo-photo Mas. Kayanya Bagus-bagus."

Lendra tertawa lepas.

"Okay. Okay. Cari aja @mynameislendra."

Aku mengangguk. Tidak terlalu sulit diingat. Nanti aku cari deh. Ini mau balik ke mobil travel-ku dulu.

"Jangan lupa di follow ya!"

Sekarang aku yang tertawa. Dia juga tertawa. Mukanya yang sedikit chubby mengingatkan aku pada tokoh kartun favoritku, Winnie the Pooh.

-



Andai saja Winnie the Pooh bisa bercerita, mungkin dia bisa dengan runut menceritakan betapa seringnya aku menangis dipelukannya. Tiap kali aku kesal dengan Lendra.

Memangnya apa yang bisa aku lakukan?

Aku ini mungkin bukan siapa-siapa bagi Lendra, sedangkan aku, aku sangat mendambakannya.

Lendra begitu penting bagiku.

Tiap kali kami gagal bertemu walau kami sudah merencanakan berhari-hari sebelumnya, aku hanya bisa ratap-ratap memeluk bantal bermotif beruang madu berwarna kuning itu.

Walau aku tahu Lendra punya kesibukan sendiri.

Dia punya keluarga.
Dia punya istri yang cantik dan anak laki-laki yang sangat lucu. Dia sering mengupload photo anaknya di Instagram, kadang bersama istrinya pula.

Dan aku cemburu!

Tapi siapalah aku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tapi siapalah aku. Aku hanyalah pungguk yang merindukan Jupiter.

Jauh. Jauh banget.

Walau adakalanya Jupiter itu melintasi mendekat ke arahku. Melambai seolah memberikan harapan, bahwa suatu saat manusia bisa mendarat dan hidup di sana.

Aku beringsut turun dari tempat tidur ketika telepon genggamku berbunyi.

'Kling'

Buru-buru aku memungutnya.

BBM. Dari Lendra!

[Ping!]

[Nad, bisa kita ketemu?]

R [Hi!]

R [Boleh]

R [Dimana?]

[Rumah Kopi]

[Pulang kantor]

[Bisa?]

R [Ok]

D []

Aku terpaku menatap layar social chat itu. Aku baru saja BBM dengan Lendra, seolah semua baik-baik saja. Dan dia mengajakku bertemu. Nanti malam sepulang dia dari kantor.

Aku sedikit terhibur. Walau aku tidak tahu apa yang hendak Lendra sampaikan. Yang aku tahu aku bisa bertemu dengan senyuman itu lagi. Dan itu sudah cukup bagiku.

Suara pintu di ketuk.

"Nad! Kamu gak kuliah hari ini?"

Suara Mama.

"Ntar jam 10, Ma!"

Ya ampun, aku sampai lupa hari ini ada kuliah. Lendra banyak menyita waktuku pagi ini. Sebenarnya ia banyak menyita waktuku.

Kami sering menghabiskan waktu bersama. Nonton, makan malam, atau sekedar ngopi di Rumah Kopi yang berada di dalam mall favorit kami.

Aku beranjak dari ujung tempat tidurku ketika benda telepon genggamku berbunyi lagi.

Nada panggil.

Sebuah nomor muncul di layar. Sebuah nomor yang tidak aku simpan di phonebook-ku.

Siapa ya?

Aku meletakkan telepon genggamku lagi dan memilih untuk tidak menghiraukannya.

Nanti nomor itu pasti akan telepon kembali kalau memang ada hal yang penting. Kalau tidak, ya mungkin hanya sales call dari perusahaan asuransi. Setengah kulempar benda yang masih bergetar-getar itu ke tengah tempat tidur.

Nada panggil itu pun berhenti.

Aku hendak membuka pintu kamar ketika benda persegi empat itu berdering kembali.

Duh!

Siapa sih!

Aku kembali menghampiri tempat tidurku. Ku lihat nomor yang tadi muncul di layar.

Dengan setengah hati aku menekan tombol 'Yes'.

"Hallo...."

"Hallo. Maaf dengan siapa saya bicara?"

"Lho, Mbak mau cari siapa?" Sahutku agak ketus. Salah sambung pasti nih orang.

"Maaf, saya istrinya Lendra."

Aku tercekat.

(Bersambung)

Nadia (Maafkan aku mencintai suamimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang