13

8.8K 207 31
                                    

Aku menggeleng.

Sesuatu yang keras meremas jantungku. Dadaku sesak dan aku tak kuasa bernafas.

Kututup mukaku dengan kedua belah tanganku. Dadaku serasa hendak memuntahkan semua beban yang ada.

Sakit. Sedih. Kecewa. Cinta. Semua bercampur dan bertempur sedemikian hebatnya.

"Maaf Mas, aku permisi ke kamar kecil dulu."

Sebelum Lendra menjawab, aku sudah beranjak dari dudukku. Setengah berlari menuju rest room yang berada agak jauh dari cafe ini.

Tangisku benar-benar pecah ketika aku masuk ke salah satu bilik toilet yang ada di situ. Semoga tidak ada yang mendengar. Kalau pun ada, persetan deh. Aku tidak peduli.

Lendra benar-benar telah membuat hidupku jungkir balik. Indah dan menyedihkan pada saat yang sama.

Aku tahu ini saatnya aku harus meninggalkannya. Tapi aku begitu mendambakannya, apakah cinta itu buta? Begitu menyakitkan?

Cukup lama aku menangis dan merenungkan semuanya. Aku merasa telah menghancurkan diriku sendiri. 

'What have I done?'

Aku tak tahu berapa lama aku duduk disini tapi setelah hatiku tenang, aku mencoba mengintip barangkali ada yang sedang berdiri diluar bilik. Sepi.

Aku beringsut menuju kaca wastafel. Mukaku benar-benar kacau.

Tiba-tiba aku benci mukaku sendiri. Aku merasa kotor.

Aku membasuh wajahku beberapa kali hingga aku merasa benar-benar bisa menghilangkan raut sedih dan galau yang terlanjur menempel disana.

Setelah diam beberapa saat di depan cermin, aku mendengar pintu restroom terbuka, dan seorang wanita paruh baya masuk dan langsung menuju salah satu bilik toilet tanpa menengok ke arahku.

Ku tatap wajahku sekali lagi dan eluar dari rest room dengan langkah lunglai.

Aku melangkah kembali ke area dimana aku meninggalkan Lendra.

Aku harus menemui Lendra dan tadi ia mau menjelaskan sesuatu padaku.

Apa yang hendak ia sampaikan? Apa ia sudah tidak mencintai istrinya lagi?

Apa dia hendak menceraikan istrinya?

Tidak! Tidak! TIDAK!

Aku tidak perlu kembali! Aku tidak perduli apa yang mau dijelaskan Lendra padaku.

Aku tidak peduli seandainya hubungan rumah tangganya sudah tidak harmonis lagi. Itu bukan urusanku.

Aku harus pergi. Menjauh! Ini saat yang tepat untuk berpisah dari segala keruwetan yang telah terjadi.

Ku putar langkahku menjauh dari Rumah Kopi dan setengah berlari menuju ke arah lobby.

Lendra akan menjadi bagian masa laluku. Dan aku tidak mau mencampuri urusan rumah tangga orang.

Aku mencintai Lendra, tapi pada saat yang sama secara tidak sadar aku mungkin telah merusak cinta Lendra pada istrinya.

Telepon ku berdering, di layar terbaca 'Mas'e'.

Lendra.

Maaf, Mas. Aku rasa semua sudah cukup. Aku memang mencintaimu. Tapi aku tidak mau cinta yang menyakiti.

Teleponku seolah meraung minta diangkat tapi aku membiarkan dering itu berhenti dengan sendirinya.

Sekarang aku sudah berdiri di depan pintu lobi, menunggu taksi.

Hatiku terisak, tapi kucoba sekuat tenaga menahan air mata ini jatuh disini. Paling tidak tunggu sampai nanti aku sudah berada di dalam taksi.

Lendra meneleponku lagi. Ku tatap layar lekat-lekat, nafasku terasa lebih berat dari biasanya. Tanganku setengah gemetar ketika ujung ibu jari menyentuh layar.

'NO'.

Ku tekan tombol merah. Perlahan air mata sudah kembali turun sebelum aku membuka pintu taksi yang sudah berhenti di hadapanku.

"Kemana, Mbak?" Tanya sopir taksi dengan ramah.

"Tolong jalan dulu, Pak." Tolong bawa saya menjauh dari tempat ini, Pak. Sejauh mungkin.

"Baik, Mbak."

Telepon ku berbunyi. Kali ini ada pesan di BBMku.

R [Kamu kenapa?]
R [Kamu dimana?]

CHAT DELETED

Lendra memiringkan tubuhnya kesamping, mendekatiku. Seperti yang biasa dia lakukan setiap kali kita nonton berdua. Mungkin sudah kebiasaan. Aku sudah terbiasa.

Aku meliriknya sesaat. Wajah Lendra tegang. Seperti kebanyakan kami.

"Ahhh!!!" Suara penonton berteriak secara serempak! Tak terkecuali aku dan Lendra. Berapa penonton tampak mengeluarkan sumpah serapah karena saking kagetnya.

Aku segera meraih lengan baju Lendra seperti biasa, dan menyembunyikan wajahku di sana. Sembari sesekali mengintip kembali ke arah layar.

Film ini sungguh menyiksaku. Film horror sequel dari James Wan ini benar-benar membuat jantungku berlompatan tidak beraturan. Menyesal aku menerima ajakan Lendra nonton film ini.

Kembali aku mengintip layar tapi tanganku masih berpegang pada lengan Lendra.

Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang mendarat di keningku. Sesuatu yang hangat.

Lendra!

Dia mengecup keningku.

Aku terdiam. Otakku membeku seketika. Adegan barusan lebih mendebarkan daripada adegan setan yang berwujud wanita tua muncul tiba-tiba dari balik jendela.

Lendra mengecup keningku! Apa maksudnya itu?

Aku masih terdiam. Tidak tahu harus berkata apa.

Ah, sudahlah.

Apapun itu aku tidak keberatan. Aku memeluk lengan Lendra lebih erat, dan adegan horor di layar menjadi tidak begitu menyeramkan lagi.

Tbc*







Nadia (Maafkan aku mencintai suamimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang