11

6.2K 196 17
                                    

Tubuhku seolah mati rasa. Aku menelan ludah sebelum akhirnya menjawab,

"Tiga tahun."

"Jadi sudah selama itu?"

Astuti bertanya sambil membersihkan sisa makanan di mulut anaknya. Andai tidak disituasi seperti ini, aku akan segera duduk di sampingnya dan menggemasi pipinya yang lucu. Dia Winnie the Pooh versi miniku.

"Ayo, Iggy cuci tangan ya." Virgy, itu nama anak Lendra, namanya diambil dari nama bintang kelahirannya, Virgo, tapi ia dan istrinya lebih suka memanggilnya Iggy.

Aku pernah bertanya tentang nama anak laki-laki Lendra, tapi aku tidak pernah bertanya siapa nama istrinya.

"Ma, Iggy boleh main sekarang?"

Mata itu! Mata Lendra.

"Boleh. Habis cuci tangan ya, Nak. Mama mau ngobrol sama Mbak ini dulu ya." Suara lembut seorang ibu.

Iggy tidak menyahut. Dia sudah berlari ke arah wastafel tidak jauh dari tempat kami duduk.

Mata Astuti kembali kepadaku. "Sudah seberapa jauh hubungan kalian?"

Dadaku tiba-tiba terasa sakit sekali. Ya Tuhan, apa yang telah aku perbuat. Airmataku keluar tanpa aku sadari.

Raut muka Astuti berubah. Bukan berubah menjadi iba, tapi malah berubah menjadi kesal.

Dia mencoba menahan diri dengan buru-buru menyambar gelas yang ada dihadapannya dan meneguk beberapa kali minuman bersoda yang ada didalamnya.

"Maaf Mbak. Walau kami sering bertemu, kami tidak pernah melakukan perbuatan hina yang mungkin Mbak Astuti kira. Saya dan Mas Lendra hanya teman biasa. Kami cuma ngobrol dan lebih seringnya nonton bioskop saja. Tidak ada apa-apa selain itu."

Aku mulai terisak.

"Seorang wanita nonton berdua dengan laki-laki. Berdua! Hanya Tuhan yang tahu apa yang kalian lakukan didalam ruangan gelap itu!"

Kelihatan sekali kalau Astuti berusaha keras untuk tidak meledak. Aku tak sanggup melihat matanya.

Aku terdiam. Aku mencerna ucapan Astuti. Apa yang aku lakukan saat aku nonton berdua dengan Lendra? Kami tertawa bersama.

Menjerit bersama. Kadang aku menyembunyikan wajahku di tangan Lendra bila aku ketakutan. Hanya itu.

Apa itu salah?

Sekilas aku bisa melihat butiran bening di sudut mata Astuti. Ia buru-buru memalingkan muka. Ia melihat Iggy bermain ditempat yang disediakan bagi anak-anak.

Ada empat anak lain yang bermain-main disana. Sesekali Astuti melambaikan tangannya ketika Iggy menoleh ke arah kami.

"Saya tidak ingin berkata banyak-banyak lagi, ya. Sekarang Nadia lihat sendiri. Anak kami mulai besar. Dia jelas butuh figur ayah yang baik."

Kelihatan sekali Astuti menahan diri untuk tidak menangis.

"Saya tidak sanggup bila kelak dia tahu bahwa papanya tiap hari Sabtu pergi berdua dengan wanita yang bukan mamanya dan bukannya segera pulang bermain dengan anaknya."

Aku tak bisa menjawab.

"Pernah Nadia pikir bagaimana kalau seandainya posisi kita dibalik?" Tanya Astuti.

Aku hampir membuka mulut tapi aku urungkan. Astuti benar.

Bagaimana kalau posisi kami dibalik?

Aku menjadi istri Lendra dan Astuti adalah gadis kuliahan yang sedang kasmaran mendamba cinta.

"Saya tidak mau tahu apa yang terjadi antara kamu dan Mas Lendra. Apa pun itu, itu harus berhenti."

Aku mengangkat mukaku sesaat lalu mengangguk lemah.

Astuti tidak bisa menahan dirinya lagi. Tangannya berpegangan kuat pada pinggir meja. Aku mempersiapkan diri pada kemungkinan terburuk: ditampar ditempat umum!

Aku memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam....

Tiba-tiba aku mendengar Astuti terisak.

Aku membuka mata, dan melihat wajah itu sangat lelah. Kemarahan yang nampak di wajahnya tadi berubah menjadi kesedihan.

Aku membayangkan betapa hari-harinya diliputi kecemasan, resah dan kecemburuan yamg tidak terungkap.

Akupun tak sanggup untuk tidak menangis. Aku terisak. Aku sakit, tapi Astuti pasti lebih sakit lagi.

Kami, dua orang wanita sama-sama menangis di tempat seperti ini. Karena seorang laki-laki yang bernama Lendra.








Lendra ternyata sudah menungguku. Ku lihat piring spaghetti nya sudah hampir kosong. Berarti dia sudah cukup lama berada di sini. Di cafe ini. Tempat biasa kami bertemu.

"Hai." Sapanya datar.

"Hai." Aku tersenyum.

"Apa kabar?" Basa-basi.

"Baik." Kaku.

Padahal kami tidak bertemu hanya satu minggu.

Satu minggu tanpa komunikasi hingga tadi pagi dia mengajakku bertemu di cafe ini. Sekarang kami sudah seperti orang asing.

"Lemon squash?"

Aku menggeleng.

"Green tea saja."

"Tumben."

Lendra menengok kebelakang dan membuat gerakan tangan memanggil waiter.

"Mas, green tea satu." Lendra menoleh ke arahku.

"Cheese cake?"

Aku menggeleng.

"Cheese cake satu. Dan minta lemon squash satu." Pramusaji itu segera berlalu.

Aku menatap Lendra.

"Untukku. Pengen coba saja." Terang Lendra pendek seolah ia bisa membaca pikiranku. Apa dia bisa membaca isi hatiku saat ini?

"Apa kabarmu, Mas?" Aku berusaha tenang, walau hatiku sudah teraduk-aduk.

Lendra menatapku.

"Baik."

"Istri dan anakmu sehat, kan?" Tenang. Tenang.

"Sehat. Hei, tumben. What's wrong?"

"Gak apa-apa. Cuma tanya aja." Aku mencoba tersenyum.

"Are you okay?" Lendra menyelidik.

"Mas, boleh aku tanya sesuatu?"

Lendra cuma mengangkat kepalanya sambil memasang tampang

'Ada apa denganmu, Nadia?''

"Mas, masih ingat pertanyaanmu tiga tahun yang lalu pada pertemuan kita yang ketiga?"

"Pertanyaan apa?" Lendra tampak keheranan.

"Mas pernah bertanya apakah aku mau jadi istri keduamu. Ingat?"

Walau Lendra cuma berkata, "Oh, itu...." Tapi mukanya tampak terkejut dan menebak-nebak kemana arah percakapan ini.

"Kamu masih ingat rupanya." Dia tertawa pelan.

"Kamu pernah serius dengan pertanyaanmu itu, Mas?"

Tawa Lendra terhenti.

Kini ia menatapku lekat-lekat dan bibirnya terbuka sangat perlahan ketika ia hendak menjawab pertanyaanku.

Seolah berharap tidak ada kata-kata yang terlepas percuma.

(Bersambung)

Nadia (Maafkan aku mencintai suamimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang