39. Perpisahan #3

11K 795 16
                                    

Pergantian Satgas Tinombala sedang dalam prosesi. Aku datang dengan diantar oleh istri dan anakku. Setelah sebelumnya berpamitan dengan Yangkung, Yangti, Kakung, Uti, dua kakak ipar dan keponakanku, di kediamanku. Mereka semua datang untuk menyaksikan kepergianku dan memberiku doa, bukan hanya untukku tapi juga untuk nengaraku. Untuk kami semua yang akan memperjuangkan kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Kami semua, para prajurit di beri waktu untuk berpamitan dengan keluarga kami masing-masing. Aku menggunakan waktu terakhirku untuk menggendong putriku dan memeluk Agni erat. Semoga bukan pelukan terakhir. Itu terus yang aku serukan di dalam hatiku. Aku tak ingin meninggalkan dua perempuan hebatku, aku juga tak siap meninggalkan keluargaku yang lainnya. Kuharap ini bukan terakhir kalinya aku memeluk negaraku.

Agni menangis sesenggukan di dadaku. Seperti istri-istri rekan-rekanku yang lain. Aku hadir di dunia tentara sebagai salah satu sniper. Tak aneh jika sekarang aku dikirim untuk pergi ke Tinombala. Bukan, bukan datang untuk membunuh, aku datang untuk melumpuhkan sehingga orang-orang yang mengganggu kedaulatan negara dapat diadili dengan benar.

"Maaf ya." Aku terus memberikan sentuhan lembut untuk kedua perempuan hebat dalam hidupku. "Papa akan segera kembali. Tak lama." Seluruh tubuhku berdesir oleh kalimatku sendiri. Aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa kembali atau tidak, tapi aku berjanji untuk segera kembali.

"Kami menunggumu, Pa," ucap Agni yang sudah kehilangan senyumnya. Siapapun, sekuat apapun tidak akan bisa menahan kesedihannya di hari perpisahan semacam ini. Dibayang-bayangi kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan.

"Sehat-sehat ya, Nak. Tetap jadi sumber bahagia untuk Mama." Mengecup Sena yang belum begitu mengerti apa arti perpisahan. "Papa pasti akan menjagamu dengan doa." Hanya itu yang bisa kulakukan. Dengan nyawa aku menjaga negara, dengan doa aku menjaga istri dan anakku. Adil atau tidak, itu sudah porsinya.

"Cepat lah pulang!" Agni melepas pelukannya, kemudian tangan lembut itu membelai kedua pipiku.

"Pasti." Aku pasti pulang. Bukan sok tahu soal takdir Allah Swt., tapi aku memang pasti pulang, tidak, harus pulang. Ada dua jalan pulang, satu menuju pada Panglima Tertinggi umat manusia, satu jalan lagi menuju Agni. Yang pasti aku akan pulang.

"Papa beneran bisa nembak, kan? Terus baju yang digunakan safety kan, Pa? Bisa komunikasi, kan?" Pertanyaan-pertanyaan Agni yang membuatku menahan tawa. Rasa khawatirnya terkadang lucu.

"Tenang lah!" Kembali memeluknya dengan Sena di tengah-tengah kami.

"Papa," panggil Sena padaku.

Aku tidak bisa mengatakan apapun, hanya kecupan manis di kepala mungilnya.

"Teteh," panggil Bagas yang langsung memisahkan pelukan kami, meraih tangan Agni lalu menciumnya sembari menahan tangis. "Bagas minta doanya teh, semoga berhasil dalam menjalankan tugas," tangisnya hampir pecah.

"Aamiin, cepat lah pulang, Om!" Mengelus kepala Bagas yang sudah mengenakan baret kebanggaan.

"Pasti, Teh." Sekali lagi, kami pasti pulang.

"Selamat menjalankan tugas, Prajurit!" Tersenyum padaku dan Bagas yang sudah berdiri tegak di hadapan Agni. Matanya masih basah tapi bibirnya terus mengembangkan senyum. Kepalsuan.

Aku dan Bagas memberi hormat untuk Agni dan Sena. Sudah waktunya kami pergi. Tepat setelah hormat balasan dari Agni tegak. Langkah pertama kami pergi.

____

Dari sisi Agni...

Apa yang kalian rasakan jika harus melepas dua laki-laki yang kalian sayangi dalam porsinya masing-masing? Sedih kah? Mencoba ikhlas, kah? Takut, kah? Khawatir, kah? Marah, kah? Frustasi, kah? Jika iya, itu semua yang aku rasakan sekarang.

Langkah pertama kepergian mereka sudah meninggalkanku dan Sena. Meninggalkan kami yang masih sangat berharap kemustahilan menjadi nyata. Kemustahilan agar perintah dibatalkan.

Sekarang, hanya punggung yang semakin menjauh dariku. Dua laki-laki beda pangkat, beda usia itu meninggalkan aku. Salah satu dari mereka berhenti kemudian berbalik. Berlari ke arahku dengan sebuah kertas terlipat di tangannya. "Ambil lah!" Memberikan kertas itu setelah sampai di hadapanku. "Baca ketika kamu bertemu denganku, apapun keadaanku!" Hanya itu kemudian berlari lagi, meninggalkanku.

Firasatku semakin buruk setelah datangnya kertas terlipat ini. Berhari-hari aku menolak firasat buruk ku tentang tugas Mas Gibran kali ini. Aku berusaha tersenyum padahal selalu menangis di tengah malam, semua karena firasat buruk yang harus aku tolak. Aku tak mau firasat itu akhirnya menjadi nyata.

Untukmu Indonesiaku, aku melepas suami dan adikku, demi kedamaianmu. Mereka putramu, berkorban nyawa demi kedaulatanmu, aku, putrimu, berkorban hati untuk melepas mereka. Tenanglah ibu Pertiwi, semua orang akan berkorban untuk kebaikanmu.

"Mbak Gibran," panggil sebuah suara parau dari balik punggungku.

Suara Istri Pratu Denja. Sniper terbaik yang dimiliki oleh Yonif 413/Bremoro Kompi Senapan A.

Aku menoleh dan berusaha tersenyum. "Masih kuat kan, mbak?" tanya Mbak Denja sambil merangkulku. Dia seperti sedang mengkhawatirkan aku, padahal dirinya sendiri juga tidak dalam keadaan baik.

"Masih, Mbak, masih." Padahal air mataku kembali jatuh. Berat sekali memang. Lebih berat dari melepas Mas Gibran pergi ke perbatasan. Saat itu aku juga sedih karena jauh dari Mas Gibran dalam keadaan hamil, tapi sekarang lebih sedih karena firasat yang terus menghantui. Sena adalah yang menguatkan aku.

Sampai di rumah Uti, aku duduk termangu sambil meremas-remas kertas pemberian Mas Gibran. Apa yang ada di dalam sana? Apa yang bisa aku baca?

"Agni," panggil Kak Satya dari balik pintu.

Aku diam tak menjawab.

"Need shoulder to cry on?" Mendekatiku.Jangan tanya Sena di mana, dia sedang sibuk dengan kakungnya.

Aku mengangguk.

Kak Satya langsung duduk dan menempatkan kepalaku di bahunya. Sejak dulu Kak Satya memang menjadi orang pengganti. Dia menggantikan ayah di masa lajangku dan dia menggantikan Mas Gibran setelah aku menikah. "Baru satu jam Gibran pergi kamu sudah begini..."

"Aku punya firasat buruk tentang tugas ini, Kak. Tapi aku tidak bisa mengatakan apapun pada Mas Gibran. Aku hanya berusaha untuk tetap tersenyum, agar kepergiannya lebih tenang, lebih fokus pada tugasnya." Setiap kali membahas firasat, setiap itu pula hatiku tersayat.

"Hush! Kamu itu kalau ngomong Dik, itu mah cuma kekhawatiran kamu saja. Gibran pasti menjalankan tugasnya dengan lancar, dia pasti segera pulang. Buang jauh-jauh pikiran nggak jelasmu itu!"

Aku juga ingin begitu pada diriku sendiri, tapi tidak bisa. Firasat itu terus menghantui sejak tiga hari yang lalu. Bertambah kuat sejak langkah pertama Mas Gibran meninggalkan aku.

"Sudah, berhentilah menangis dan kuatlah untuk Sena." Memberiku tenaga lewat sentuhan lembutnya di bahuku. Seperti yang Mas Gibran lakukan biasanya.

"Mama," panggil Sena yang datang dengan Kakung. "Papa... Papa..." Membuatku pilu.

"Dari tadi papa, papa terus," ujar Kakung.

"Sini, sini!" Meraih Sena setelah menghapus air mataku. "Papa lagi kerja sayang, jaga negara," jelasku pada Sena yang entah mengerti atau tidak.

"Sini, ikut pakde saja." Mengulurkan tangan.

Sena menolaknya keras. Justru memelukku erat.

Mau tidak mau aku harus kembali kuat, kembali dengan senyum ceriaku, untuk Sena. Berusaha menghilangkan firasat buruk itu jauh-jauh, walaupun sulit.

"Mas, damaikan Indonesia. Agar Putri kecilmu bisa tumbuh dan berkembang bersamamu. Aku dan sena menanti kepulanganmu," kataku dalam batin.

Hari-hari kembali aku jalani tanpa kamu, tanpa sentuhan lembutmu, tanpa tawamu, jauhlah dariku untuk negaraku. Huft... Aku mengembuskan napas panjang setiap kali mengingat wajah tampan Mas Gibran. Setiap itu pula aku meyakinkan hatiku bahwa semua akan baik-baik saja.

***

Bersambung...
IG/Twitter
Artileryca

Pelukan Terakhir Untuk Ibu Pertiwi [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang