3. Keputusanku

24.9K 1.8K 95
                                    

Beberapa hari pikiranku berkutat dengan seorang perempuan, di tengah bulan sabit berganti hari menjadi bulan setengah, saat senja berganti dengan matahari terbit, di saat siang berganti dengan malam, malam memeluk pagi. Pikiranku selalu menuju seseorang. Iya atau tidak, dia atau bukan, pilihan-pilihan itu terngiang. Hingga hari ini aku memutuskan untuk menyiapkan segalanya, memilih salah satu di antara dua.

Sepanjang hari menyiapkan sesuatu yang akan menentukan hidupku, dibantu beberapa anggota terutama Bagas. Sudah sejak sepanjang hari juga jantungku berdegup kencang. Alih-alih diam dan tenang, degupnya justru meronta, bak tawanan hendak melarikan diri, bak seorang tentara yang hampir mati oleh pelatuk temannya sendiri. Tidak, tidak, tidak seberlebihan itu, yang pasti jantungku tidak terkondisikan.

Huftt... Berulang kali menghela napas.

"Apa segugup itu, Bang?" tanya Bagas, memandangku dengan tatapan mengejek sembari menggenggam bunga mawar merah dan putih di tangannya.

"Nggak tahu, rasanya nggak karuan," jawabku langsung limbung di sebuah kursi.

Bagas pergi dengan tetap memandangku geli.

Acara penentuan hari ini aku laksanakan dengan begitu romantis di sebuah resto di daerah Solo. Ini semua atas perintah ibuku. Beliau sangat antusias meski hanya dengan memerintahku ini itu. Antusiasmenya terdengar kemarin malam, ketika aku menelepon beliau dan mengatakan niat baikku.

"Mandi dulu, Bang. Tinggal nambahin mawar ini sih," usul Bagas masih sibuk dengan mawar yang akan menghiasi setiap sudut resto.

"Oke pulang dulu, lah," jawabku bangkit dari kursi.

"Eh..." Bagas menghentikan langkahku.

Aku menoleh seolah bertanya, "Kenapa?"

"Sudah diantarkan jas dan sepatunya ke sini, termasuk cincin. Abang mandi di sini aja. Ini sudah jam..." Melirik jam tangannya. "Tujuh belas tiga lima bentar lagi azan Magrib."

Aku ikut menatap jam tanganku. Benar.

"Abang-kan kalau mandi lama."

Sedikit ada benarnya, dalam beberapa keadaan waktu mandiku bisa lebih lama dari perempuan pada umumnya. "Ya, kan nggak bawa alat mandi, Bagas," tekanku.

"Santai dikitlah, Bang. Sudah dibawakan semuanya termasuk minyak wangi yang baunya macam menyan itu."

Aku hanya merasa tidak nyaman saja sebenarnya jika harus mandi di kamar mandi resto ini. "Berarti kalian masuk kamarku tanpa izin? Awas ya nanti sampai di markas sikap taubat semua!" bentakku kesal. Maksudku semua adalah prajurit yang berkerjasama dengan Bagas.

"Siap salah, Bang." Semua mengakui kesalahannya.

"Sampai besok pagi."

"Oke oke, Bang. Sikap taubat sampai besok pagi!"

Allahuakbar Allahuakbar...

Kumandang azan menghentikan kami.

***

Setelah menunaikan ibadah salat Magrib, aku mulai bersiap dengan kemeja putihku dan jas abu-abuku. Badanku sudah segar dan wangi, lebih wangi dari biasanya. Terlebih ini amat sangat formal untuk sebuah lamaran. Maklum, aku tidak tahu cara melamar yang bagus semacam apa, hanya mengikuti perintah ibu dan beberapa aba-aba dari anggotaku saja.

"Wusss... Keren sudah kau, Bang," puji salah satu prajurit yang membawakan ku pakaian tadi.

"Ha-ha." Aku hanya tersipu malu.

"Seperti pejabat-pejabat di atas sana," puji yang satunya lagi.

"Di atas mana? Atas genting?" Bagas nimbrung.

Pelukan Terakhir Untuk Ibu Pertiwi [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang