43. Sampai Akhir

21.7K 1K 134
                                    

Setelah masa menegangkan yang hampir saja meregang nyawaku, aku sudah kembali ke rumah dan berkumpul dengan istri dan anakku. Membawa pulang bukti perjuanganku di Tinombala, luka di dada bagian kiriku. Aku masih diberi waktu untuk istirahat, sebelum kembali bertugas di Yonif 413/Bremoro. Menikmati waktu luang bersama Sena dan Agni.

"Makan dulu, Pa." Agni memberiku sepiring nasi, dia tahu betul seberapa porsi makanku. Apalagi sekarang ini Agni lebih teliti menyiapkan makanan padaku, terutama makanan yang cepat membantu penyembuhan lukaku.

"Iya." Memberinya senyum manis.

Kehidupan harus kembali normal seperti sebelumnya. Tidak ada alasan untuk lelah dan berhenti hanya karena luka dalam pengabdian. Toh memang untuk ini aku bekerja.

"Abang," panggil Bagas tak sopan dari ruang tamu. Dia pasti baru saja datang dan langsung nyelonong masuk, lalu berteriak. Berjalan menuju tempatku sekarang, meja makan. Ah, si anak kecil.

"Salam dulu, Om," tegur Agni yang baru saja menggendong Sena. Tepat saat Bagas sampai di depanku.

"He he," tawa tanpa dosanya.

"Om... Om..." Sena sudah merentangkan kedua tangannya. Meminta Bagas untuk segera menggendongnya. Aduh, Sena. Anakku ini memang tidak bisa jual mahal sedikit. Apalagi kalau sama Omnya yang, yah, lumayan tampan.

"Duh duh... kangen sama Om, ya?" Bagas juga tanpa ba-bi-bu langsung mengambil alih Sena dari Mamanya.

"Iya." Agni mewakili Sena. "Gimana, Nak? Kangen kan sama Om Bagas?" Tanpa dipastikan lagi, dengan sikap Sena yang seperti itu sudah jelas dia merindukan Om kesayangannya. Sudah berbulan-bulan juga belum bertemu.

"Ah, Om juga kangen sama kamu, Sayang." Mencium pipi gembul Sena. Sementara memang hanya pipi Sena yang bisa Bagas cium. Oh, pipi mamanya juga sih.

"Maya apa kabar?" tanya Agni yang kedengarannya jatuh hati pada Maya, pacar Bagas yang sekarang. Biasanya kalau Agni tidak suka, walaupun itu pacarnya Bagas sekalipun, dia tidak akan bertanya bagaimana kabarnya. Nggak penting kata Agni. Yang ditanyakan ya hanya yang penting-penting.

"Baik, Teh. Titip salam katanya, bulan ini belum bisa pulang. Mau ngurus pengajuan judul skripsi," jawaban sekaligus penjelasan.

"Wah, jangan lupa diingetin makan, Om." Aku ikut nimbrung. "Soalnya tetehmu itu dulu waktu nulis skripsi sampai lupa makan, sudah lupa makan, nggak ada yang ngingetin lagi. Jomblo akut waktu itu. Akhirnya masuk rumah sakit." Antara menggoda, mengejek dan bernostalgia.

"Eh, waktu teteh skripsi sedikitpun abangmu ini perhatian sama teteh Om, malah ngejekin kalau skripsi dicorat-coret sama dosen. Giliran teteh sakit, dia panik, telepon setiap saat, mau maksa pulang tapi nggak boleh, habis itu setiap detik ngasih perhatian. Padahal abangmu itu nggak jomlo." Serangan balik dari istriku.

"Ya, orang khawatir loh," belaku.

"Hemm..." Bagas duduk di sebelahku bersama dengan Sena. "Abang sama teteh itu sudah saling peduli dari awal, sudah saling menunjukkan cinta dari awal tapi nggak sadar lebih awal. Sadarnya telat. Terutama, Abang," menoleh padaku.

Kalau dipikir-pikir apa yang dikatakan Bagas benar.

"Iya juga ya." Agni sependapat denganku.

"Iya deh, Ma. Ha ha baru nyadar." Mentertawakan diriku sendiri. "Eh, ada satu kejadian gila waktu kita masih SMK kelas sebelas, Om," bercerita pada Bagas setelah memori itu terputar kembali satu detik yang lalu. Aku yakin Bagas belum mendengar cerita ini. Bagas juga terlihat antusias mendengarkan. "Waktu itu pacar Abang, sebelum si Zahra siapa namanya, Ma?" Beralih pada Agni, aku lupa karena terlalu banyak masa lalu. Suram kali aku ini.

Pelukan Terakhir Untuk Ibu Pertiwi [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang