42. Pasca

12.8K 901 11
                                    

Mataku masih berat sekali, baru saja kembali dari ambang kematian. Aku pikir aku benar-benar telah kembali pada sang pencipta. Aku pikir itu adalah pelukan terakhirku untuk Ibu Pertiwi. Karena sebelum aku tersadar, aku seperti berada di sebuah Padang yang luas, hanya ada cahaya yang terang dan ruang atau alam atau samacamnya itu yang putih. Semuanya putih. Dan setelah itu tiba-tiba mataku terbuka. Berada di sebuah ruang sendirian, ditemani alat-alat yang melekat di tubuhku. Juga luka di dada kiri ku yang terasa perih, bukan perih lagi, sakit.

Nyatanya aku masih hidup. Tembakan itu tidak menembus jantungku. Aku selamat. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt.

Agni istriku, dia sekarang sedang berada di samping kiriku, menangis haru. Ketika melihat wajahnya, yang aku ingat adalah pelukan terakhir saat sebelum aku berangkat ke Tinombala. Ketika melihat wajahnya pula, yang aku ingat adalah ketika peluru itu menembus dada kiriku. Begitu jelas.

Menjelang subuh, sebuah peluru dengan cepat menembus dada bagian kiriku. Tepat saat kami harus melakukan pergantian peleton untuk melumpuhkan para teroris Indonesia timur. Aku tidak menyangka para teroris bahkan keluar dari sarangnya, di dalam hutan menuju ke tepian hutan. Tempat kami berganti peleton, tempat kami berkoordinasi, tempat kami memulai taktik pelumpuhan, untuk menyerang kami dari jarak dekat.

Ketika peluru itu menembus dadaku, dua wajah perempuan yang terlintas di otakku untuk terakhir kalinya. Wajah Agni dan Sena. Setelah sebelumnya, perjuanganku untuk tanah air tercinta lah yang terputar dalam otakku. Ah, aku pikir itu pengabdian terakhirku untuk negeri tercinta.

"Tidur lah!" perintah Agni sembari mengelus lembut telapak tanganku. Menggenggamnya dengan erat pula, memberiku kekuatan. Padahal aku tahu, dialah yang butuh kekuatan itu. Bukan aku. Menyaksikan suami lemah tak berdaya dengan luka di bagian dada kirinya, itu bukanlah hal yang ringan. Berat sekali untuknya. Jauh dariku saja sudah menyiksa, apalagi harus melihatku gagal dalam tugas semacam ini.

Aku ingin menemani masa beratnya, dengan setidaknya memberi senyum, membuka mata, atau membuka mulutku untuk berbicara, tapi entah cairan apa yang tadi dokter suntikkan padaku, mataku terasa berat sekali. Ingin terlelap dan Agni menyadari itu.

Karena kelopak mataku terasa berat dan tak tertahankan lagi. Jadi aku terlelap, membiarkan Agni membuka mata sendirian. Juga membiarkan Sena tak mendapat perhatian lagi dari mataku.

***

Tugasku gagal di akhir-akhir waktu. Beberapa hari sebelum pergantian satgas yang baru. Siang sebelum kejadian peluru menembus dadaku itu, aku dengar beberapa pasukan dari Yonif 413/Bremoro, Yonif 411/Pandawa, Yonif 412/Bharata Eka Shakti, sudah siap menggantikan kami di sini. Sudah seharusnya satgas telah berganti sekarang.

Aku juga sudah semakin sehat, hanya bekas luka yang perlu beberapa penanganan sedikit saja. Toh, prajurit tidak boleh sakit terlalu lama. Siapa nanti yang jaga negara?

Agni dan Sena menemaniku selama proses penyembuhan di RS Bhayangkara, Poso. Kak Satya? Dia pulang lebih dulu karena ada urusan yang tidak bisa ditinggal. Dia berjanji akan kembali, menjemput kami untuk pulang. Alhamdulillah dengan bantuan Sertu Eka, rekanku dulu ketika bertugas di Makostrad, istri dan anakku hidup mudah selama menemaniku.

Oh, semalaman aku selalu memikirkan Bagas. Dia terluka atau tidak? Karena memang tidak ada kabar darinya. Aku masih ingat saat aku tumbang dan jatuh tersungkur di tanah Ibu Pertiwi. Bagas terdengar panik, dari pandanganku yang kabur pula, Bagas terlihat panik, sembari waspada mencari sumber peluru yang menembus dadaku.

Bagaimana dia sekarang? Masih panik kah? Atau bahkan belum mendengar kabarku?

"Bagas gimana?" tanyaku ditengah-tengah Agni yang hendak menyuapiku.

"Belum dapat kabar lagi dari Bagas gimana. Tapi kata Sertu Eka, harusnya hari ini tugasnya sudah selesai. Tinggal balik ke tanah Jawa," jelasnya mengajukan suapan pertama.

Aku hanya mengangguk atas penjelasannya. Bagas pasti baik-baik saja. Dia prajurit yang bagus.

"Izin masuk, Ndan." Sertu Eka datang dengan senyumannya. Memberi hormat gerak cepatnya.

"Masuk saja!" Aku juga menyambut dengan senyumku.

"Siap!" Melangkah masuk mendekatiku dan Agni yang tidak pernah berhenti mengajukan suapan padaku.

"Saya hanya datang menyerahkan surat dari Prada Bagas, Pot." Kembali pada panggilan kami biasanya. "Dia nggak bisa ke sini karena harus segera kembali ke Jawa. I love you full katanya." Memberikan sepucuk surat yang kertasnya sudah kucel, kertas HVS yang entah maling punya siapa. Dan kata terakhir, I love you? Aku membayangkan ketika Bagas mengatakan kata itu dengan wajah sok imutnya, dengan suara manja-manja ala Princess Syahrini. Ah, aku merindukannya.

"Terima kasih banyak, Pot," ucapku menyunggingkan senyum.

"Sama-sama, Pot." Beralih tempat mendekati Putri kecilku yang tertidur di lantai beralaskan karpet dan bantal seadanya. Yah, kamar rawatku memang bukan kamar VIP yang mewah. Toh peralatan di sini juga seadanya. Terpaksalah kalau Sena hanya tidur di lantai. "Kasian Sena. Kalau mau saya ajak ke tempat ibu ya gimana nanti pas bangun nggak ada mama-nya?" Mengelus lembut pelipis Sena.

"Begitu juga Sena sudah bisa tidur, Mbak." Agni menghentikan aktivitasnya menyuapiku. Menatap Sena tak tega, tapi mau bagaimana lagi.

"Sena anak yang kuat kok, Tante. Sama kayak Mama." Sertu Eka mengkiaskan kalau dia sebagai Sena. Ada-ada saja, membuatku tertawa. "Lucu banget nih Sena, jadi pengen punya anak." Mencubit pipi gembul Sena.

"Pengen punya anak, tapi belum nikah. Kamu ini, Pot. Padahal sudah mau naik pangkat Serka." Jika berjalan sesuai rencana, tentara yang lulus satu angkatan denganku tinggal beberapa bulan menerima pangkat yang baru.

"Ishh, santai, Pot, nanti juga ada waktunya," sedikit cemberut. "Eh, baca dulu tuh suratnya. Pesennya suruh cepet dibaca. Si Bagas itu cerewetnya minta ampun tapi lucu sih." Seperti sedang terpesona tapi juga kesal sekali.

"Ingat! Doi berondong, Pot," celetukku lemah. Mengundang gelak tawa kami bertiga.

"Lagian di sini ada sinyal kok nggak telepon aja?" Istriku bingung. Memang ada sinyal di sini, terlebih Bagas kan sedang tidak bertugas, sudah selesai.

"Ponsel Bagas hilang," jawabku. Ketika baru saja tiba di Poso, ponsel Bagas jatuh entah di mana dan tidak ketemu. Kasian sekali.

Aku mulai membuka kertas yang bentuknya tak lagi rapi. Sedikit kotor juga.

Assalamualaikum, Abang tercinta.

Langsung to the point ya, Bang.

Baru membaca dua kalimat saja membuatku mual. Ingin pingsan saja. Bagas nggak jelas.

Bagas dengar Abang sudah sadar. Alhamdulillah. Bagas panik banget soalnya, tapi Bagas tahan. Masa' iya prajurit panik teriak-teriak pas rekannya tertembak. Stay calm aja. Padahal jantungku lompat-lompat bang. Ah, begitulah bang. Tapi Bagas bersyukur karena Abang baik-baik saja.

Bagas cukup lebay. Tapi ah sudahlah. Aku melanjutkan membaca sambil menayangkan wajah Bagas yang menggelikan sekali itu.

Bang, cepet sembuh cepet pulang cepet mengabdi lagi ya, bang. Jangan bikin Bagas panik lagi. Ah, Bagas kangen sama Abang. Cepat pulang.

I LOVE YOU

Adikmu,

Bagas

"Ah, surat macam apa ini, Bagas? Cuma surat nggak jelas. Dasar anak kecil," umpatku dalam hati. Tapi benar kata Sertu Sena, Bagas itu lucu. Membuatku tertawa.

"Kenapa, Pa?" Agni penasaran karena tawaku.

"Surat nggak jelas." Memberikan surat ini pada Agni.

Agni ikut membaca surat nggak jelas itu sambil menahan tawa. "Lucunya adikku." Di ujung tahan tawanya. Lucu? Ah, Agni memang benar, membuatku semakin merindukannya. Tenang, besok juga pulang.

***

Bersambung...
IG/Twitter
Artileryca

***

Pelukan Terakhir Untuk Ibu Pertiwi [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang