2. Ancaman Yang Menarik

27.8K 1.8K 44
                                    

Malam ini seperti malam Minggu biasanya ketika aku libur, mencari makan di luar, nongkrong, atau menemui seseorang. Tanpa meminta izin kepada kedua orang tuanya atau menjemputnya di rumah, pertemuan akan berjalan sempurna. Kenapa? Karena sudah biasa semacam itu sejak dulu. Bila aku ada waktu, maka aku akan bertemu dengannya di sebuah kafe di pusat Kabupaten Karanganyar.

Bulan sedang berpola sabit, tersenyum tipis untuk mengiringi malam ini. Jam tidak berhenti berdetik, tetapi aku masih sibuk memilih dan memilah baju yang pas. Seolah kebingungan tampil dengan gaya apa dan tidak mau terlihat buruk. Ini selalu aku alami saat ingin bertemu dengannya, tentu sudah bisa ditebak siapa yang akan kutemui malam ini.

"Bang, Bang," panggil Bagas.

"Ada apa?" tanyaku menoleh ke belakang, megancingkan kancing kemeja biruku.

Bagas berlari mendekatiku. "Izin bertanya. Mau ke mana, Bang?"

"Keluar." Singkat sembari memakai helmku.

"Ikut," ceetuknya dengan nada rengekkan anak kecil yang baru saja bisa menulis.

Aku memicingkan mataku. "Nggak!" Aku menolaknya. Aku rasa dia hanya akan menggangguku.

"Ayolah, Bang. Ikut," rengekannya kian menjadi.

"Nggak!" tegasku.

"Emang mau kencan sama Mbak Agni, ya?" tanyanya dengan wajah semakin memelas. Kontras dengan pakaiannya yang sudah sangat tapi dan terlihat gagah.

"Nggak kencan, tapi memang mau ketemu Agni," jawabku sembari berjalan keluar.

Sedikit banyak, Bagas sudah tahu siapa Agni dan bagaimana perjalanan hidupku bersahabat dengan Agni. Aku terpaksa menceritakan semuanya kepada Bagas karena dia terus merengek ingin tahu. Sejujurnya tidak masalah jika dia tahu, karena hanya dengan Bagas aku menceritakan semuanya.

"Nah, kalau bukan kencan berarti nggak masalah kalau aku ikut." Bagas merubah mimiknya menjadi bahagia dan tanpa perintah dia sudah duduk di jok belakang motorku.

"Turun!" perintahku. Aku mungkin menceritakan banyak hal kepada Bagas tetapi sampai saat ini aku selalu tidak rela jika ada yang ikut denganku saat bertemu Agni. Kecuali orang tuaku atau keluarganya. Kenapa? Aku juga tidak mengerti dengan diriku sendiri.

"Ayolah, Bang. Sekali ini saja." Bagas kembali merengek. Bahkan lebih parah dari sebelumnya, sekarang kedua tangannya memeluk pinggangku dari belakang. Erat sekali.

Aku tidak akan bisa menghentikan rengekannya kali ini. Kalau sudah begini dia akan terus merengek dan itu akan membuang-buang waktuku.

"Ambil helm dulu!" perintahku pada Bagas yang justru semakin erat mengikat tangannya di pinggangku.

Bagas menggeleng.

"Aku nggak akan ninggalin kamu, Bagas. Kamu jadi tentara gitu amat sih, kelihatan manjanya, kok bisa masuk tentara? Apa pengujimu waktu itu salah menilai? Atau kamu..."

Tidak sempat kulanjutkan bicaraku, Bagas sudah berlari ke dalam barak lagi, mengambil helm hitamnya dan kembali duduk di belakangku. "Ayo, Bang," ajak Bagas tidak sabar.

Dia bukan anggota yang mudah menuruti perintahku saat tanpa seragam seperti ini. Tapi aku menyukai sikapnya itu.

***

Perempuan berhijab merah muda duduk sendirian di tengah-tengah kafe, mengangkat ponselnya lalu menaruhnya lagi. Ia pasti menunggu kabar dariku. Aku tersenyum tipis. Benar, perempuan itu Agni. Akibat terlalu lama berdebat dengan Bagas, aku membuatnya menungguku. Sudah lewat 5 menit dari waktu janjian.

Pelukan Terakhir Untuk Ibu Pertiwi [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang