41. Ambang

12.5K 960 105
                                    

Dari sisi Agni...

Duka menyelimuti rumah Uti. Semua orang bersedih sekarang. Semua orang panik, semua orang menangis. Kecuali Kak Satya yang sedang sibuk telepon sana sini. Itupun untuk mengurus segala sesuatu, agar aku bisa segera terbang ke Poso.

Tangisku tidak bisa terbendung barang satu detik saja. Itu juga membuat Sena bingung lalu ikut menangis bersamaku.

"Hati-hati ya, Nak. Yang sabar," peluk Yangti yang baru saja datang setelah menerima kabar dariku. Aku dan Kak Satya juga baru saja dapat ijin komandan satgas untuk bisa datang menemui suamiku. Yangti terlihat lebih tegar walaupun ujung matanya jelas basah.

Aku tidak bisa mengatakan apapun, lidahku kelu. Menerima kenyataan terberat dalam hidupku.

"Kita berangkat sekarang." Kak Satya panik menyiapkan semua keperluan ku menuju Poso.

"Hati-hati ya, jaga Agni, dikuatkan terus," pesan Kakung pada Kak Satya.

"Agni harus kuat untuk Sena ya, Nak." Uti memelukku bersamaan dengan tangisnya yang pecah.

Aku diam saja. Aku benar-benar tidak bisa mengatakan apapun. Air mata menjelaskan semuanya.

Penerbangan pertamaku menuju Poso bukan penerbangan yang menyenangkan. Penerbangan yang hanya akan membawaku pada kabar duka. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Bagaimana bisa kegagalan tugas ini terjadi? Sepertinya aku telah sampai pada masa terberatku untuk memdampingi suamiku.

"Yang sabar ya, Dik." Kak Satya tak henti-hentinya mengucapkan kata itu, sembari mengelusku lembut. Sena berada dalam pangkuanku. Seperti anak kecil pada umumnya, dia juga rewel kalau aku sendiri tidak tenang.

Sena sering menangis, sering terlihat tidak tenang. Mungkin Sena merasakan apa yang aku rasakan. Sesuatu terjadi pada papa-nya, mungkin dia juga merasakan itu.

Perjalanan panjang telah aku lalui bersama dengan duka yang bersemayam. Kak Satya sudah mengambil alih Sena sejak otakku tidak terkendali. Aku setengah berlari menuruni pesawat, ingin segera hengkang dari bandara. Menuju RS Bhayangkara Poso.

"Agni," panggil Kak Satya yang terus saja mengikutiku sambil menenangkan Sena. "Agni." Menarik tanganku tepat saat taksi berwarna biru berhenti di depanku. "Kita dijemput pihak TNI." Kak Satya memang mengurus segalanya, termasuk berbicara dengan Komandan Satgas Tinombala dari TNI tentang keberangkatanku ke Poso.

"Yang sabar ya, Mbak." Seorang Kowad menenangkanku di jok belakang.

Otakku rasanya sudah berhenti. Akal sehatku hilang, sampai lupa pada putriku.

Sampai di depan rumah sakit aku langsung berlari, kemanapun aku bisa masuk. Kemanapun aku bisa menemukan Mas Gibran. Terlalu menyakitkan. Kak Satya mengehentikan langkahku lagi. Memelukku agar sedikit lebih tenang. Kenapa kak Satya selalu hadir menjadi pengganti? Kak Satya lalu menggenggam tanganku erat. Mengajakku mengikuti Kowad yang datang bersama kami tadi, juga Komandan Satgas Tinombala dari TNI yang menyambut dan mengantar kami.

Sampai pada sebuah ruangan yang dingin. Sepi. Terbaring lah orang yang sedang aku cari. Diam. Dia tidak bergerak. "Mas, Agni disini, bisakah kamu bangun?" lirihku di telinga kanannya. "Sena juga di sini Mas. Bangun lah!" Mengelus lembut kepalanya. "Mas, kita sudah bertemu sekarang, haruskah Agni baca surat dari kamu Mas?" Mengeluarkan kertas terlipat dari dalam saku dress panjangku.

Untuk Agni, Istriku.
Ada dua kemungkinan ketika kamu membaca surat ini. Satu kemungkinan kamu masih bisa melihat mas bernapas dan satu kemungkinan lagi, kamu melihat mas terbujur kaku di balik peti mati.

Pelukan Terakhir Untuk Ibu Pertiwi [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang