Cinta dan Harapan

854 44 2
                                    

Penulis: rianiv108
Ide cerita: gabungan 1,2,3

"Arrrghhhhhhh!"

Aku membuka mata, nafasku tersengal-sengal. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Seperti biasa, semua keluargaku menatapku dengan cemas. Aku pasti mengalaminya lagi, terjebak dalam mimpi. Aku tidak tahu apakah ini adalah sebuah bencana atau malah sebuah kemampuan yang patut dibanggakan. Tetapi mengingat betapa lemahnya aku di Second World-aku menolak menyebutnya dunia mimpi-aku pikir ini adalah sebuah bencana. Bencana yang besar, dan sialnya selalu datang kepadaku.

"Cinta, kau baik-baik saja?" tanya ibuku gelisah.

Aku menoleh ke arah ibuku. Kejadian ini sudah terjadi berulang kali sejak tahun lalu, tetapi raut wajah ibu selalu menunjukkan kecemasan setiap aku berhasil keluar dari Second World. Aku mengangguk, mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja.

"Aku sangat baik-baik saja, Bu. Omong-omong, bisakah kalian keluar dari kamarku? Aku butuh ketenangan," pintaku kepada keluargaku.

Seusai mengangguk, ibu, ayah, dan adikku meninggalkan ruangan ini. Menyisakan kekhawatiran di wajah mereka masing-masing. Apa yang mereka khawatirkan? Bencana menyebalkan ini hanya akan terjadi setiap hari Kamis. Dan syukurnya aku baru saja melewati bencana tersebut dengan selamat.

Aku menggeser tubuhku, mencari posisi ternyaman lalu menarik selimutku sampai sebatas dada. Pikiranku menerawang jauh kepada sosok itu. Pria yang selalu mengusap lembut pipiku saat aku berada di batas antara mimpi dan sadar. Hanya dengan usapan tersebut aku dapat terbangun. Bukankah ajaib? Lebih ajaib lagi ketika seluruh anggota keluargaku mengaku tidak melihat keberadaan pria tersebut. Mereka hanya mendengar teriakan tertahanku, seperti tadi.

Aku merasakan kelopak mataku terasa berat. Aku berusaha melotot lebar-lebar, tetapi tidak bisa. Aku sangat... sangat mengantuk. Oh shit! Tidak lagi!

"Last day and you'll find him."

Sebuah bisikan dan aku kembali tertidur. Aku membuka mata, tetapi yang ku lihat bukanlah kamarku. Second World, tidak salah lagi. Ini tidak lebih dari sebuah kota, di dalam mimpi tentunya. Aku hafal seluk beluk kota ini, tetapi tetap saja aku tidak dapat menemukan jalan keluar. Aku hanya akan keluar setelah mendengar suara pria itu dengan usapan lembutnya di pipiku.

Aku menghembuskan nafas. Di sini begitu sepi. Oke, sebenarnya ramai, tetapi entah kenapa mereka tidak dapat melihatku. Apa karena kami beda dunia? Entahlah, tapi kurasa aku lebih suka seperti ini. Bukankah akan lebih merepotkan kalau aku harus berinteraksi dengan mereka? Kali ini aku terbangun di sebuah taman. Setelah sebelumnya aku terbangun di toilet salah satu penduduk. Yeah, itu menjijikkan memang, untung di sini aku tak kasat mata. Aku menyusuri setiap sudut dari taman ini. Begitu indah dan errr... penuh dengan orang yang tengah berpacaran. Cukup mengenaskan bagi seorang jomblo sepertiku, walaupun hanya di Second World seperti ini. Aku melangkah menuju sebuah bangku taman yang terletak tepat di depan kolam. Aku mengamati teratai putih yang mengapung di tengah kolam itu dan merasakan diriku mulai mengantuk.

"One step closer, and you'll find him."

Aku tersentak. Apa-apaan ini? Aku hampir tertidur di dalam mimpi? Hah, lucu sekali. Dan suara itu...

Aku menoleh sekilas ke sebelah kananku. Entah sejak kapan ada seorang pria duduk di situ. Dia tertidur, jadi tidak mungkin pemilik suara itu adalah dia. Ibuku memang selalu mengajariku untuk tidak berburuk sangka, apalagi terhadap pria malang seperti dia. Aku menahan tawa, tidak adakah yang lebih konyol dari seorang pria yang mengenakan jaket hitam di musim panas? Hei, Bung! Ini musim panas!

"Empat puluh tujuh jam dari sekarang. Temukan dia atau kau akan mati."

Seketika aku melotot dan menoleh ke samping.

Penyakit MentalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang