Oleh: tasyayonethaa
Ide cerita: 2Dedaunan kering menari-nari diterpa semilir angin sejuk. Sang Surya tersenyum melihat dua insan berbaring di rerumputan hijau di bawah langit jingga.
Pria itu membuang napas lega untuk kesekian kalinya. Mata birunya memandang gadis cantik yang berbaring di sampingnya. Pandangannya menyiratkan kekaguman pada karya keagungan Tuhan.
Gadis itu menutup matanya. Menikmati sejuknya angin petang.
"Kamu kenapa liatin aku terus?" tanya gadis itu.
"Ada upil tuh di hidung kamu."
Gadis itu cepat-cepat duduk lalu mengusap-usap lubang hidungnya.
"GIOOO! Kamu bohong lagi, kan?!" Gadis itu memekik sebal.
"Ketipu lagi, kan? Kamu polos banget, Vi" Gio terkekeh sambil mengacak-acak rambut Vicantra.
"Awas kalo kamu ngerjain aku lagi," gadis itu mendengus sebal.
Vicantra mengepalkan tangan kanannya di depan wajah Gio. Ia merapikan rambutnya yang acak-acakan. Dua insan itu saling lirik lalu tertawa lepas. Seakan beban mereka sudah lenyap terbawa angin.
"Pulang, yuk! Bentar lagi gelap," kata Gio.
"Hmm.."
Gio menggenggam tangan gadis itu erat. Vi memeluk lengan besar Gio. Mereka berjalan berdampingan menembus heningnya malam.
***
Gio dan Vi melangkah masuk ke dalam apartemen mewah. Vi meletakkan sepatunya di rak sepatu lalu masuk ke dalam kamar. Gio melangkah menuju dapur untuk menyiapkan makanan.
"Beef spaghetti boleh juga," gumam Gio sambil membolak-balikkan halaman buku resep.
Gio memang lihai dalam hal memasak karena ia sudah biasa hidup sendiri. Ayahnya, Richard Wijaya, dihukum mati karena membunuh. Ya, pembunuh berantai. Ibunya, Stella Agatha, meninggalkannya di panti asuhan setelah tahu bahwa suaminya adalah seorang pembunuh.
Hidupnya benar-benar miris. Dicap sebagai anak seorang pembunuh tentunya sangat membebaninya. Di sekolahnya dulu, ia dicaci maki, dibully dan dijauhi teman-temannya.
Tentu saja hal itu menyebabkan trauma yang membekas dalam diri Gio. Untung saja saat ia SMP, ia diadopsi oleh keluarga baik hati yang sangat peduli dengannya. Orangtua angkatnya sangat peduli dengan kondisi mental Gio. Mereka membawa Gio untuk mengikuti terapi kejiwaan guna menghilangkan trauma itu.
"Hmm.. aromanya enak banget. Cepetan dong masaknya, cacingku udah demo," kata Vi sambil memeluk mesra pinggang Gio dari belakang.
"Kamu mah bisanya makan doang. Harusnya kan yang masak tuh cewek bukan cowok."
"Nyindir nih ceritanya?"
"Hehe.. engga kok."
Vi melepaskan pelukannya dari pinggang Gio. Ia melangkah ke meja makan lalu duduk tenang di kursinya. Gio menata dan menghidangkan masakannya di meja makan.
Gio memperhatikan Vi saat mereka makan. Ia sangat bersyukur karena Yang Mahakuasa mengaruniakan Vi untuknya. Pertemuan mereka sebulan yang lalu adalah momen paling berharga untuk Gio. Ia memberikan seluruh cintanya hanya untuk Vi.
Drrt..
Drrt..
You have a new message.
Gio melihat notifikasi di ponselnya.
From: Ms. Kirana, Psikiater.
Gio, obatnya jangan lupa diminum. Besok pertemuan kita sesuai jadwal.
"Dari siapa?" tanya Vi dengan mulut penuh spaghetti.
"Ms. Kirana. Besok kamu di rumah aja. Gak usah ikut."
"Oke." Vi melanjutkan makannya.
Gio tersenyum melihat Vi yang makan dengan lahap.
Setelah selesai makan, Gio mencuci piring-piring kotor. Ia membuang sisa makanan dari piring Vi.
'Kenapa selalu begini? Kenapa makanannya tetap utuh? Padahal tadi jelas-jelas dia makannya lahap,' batin Gio.
Pertanyaan itu selalu muncul di benaknya saat mereka selesai makan. Tapi Gio tidak menghiraukannya.
***
"Kamu minum obatnya rutin, kan?"
"Iya," kata Gio.
Gio berbohong. Sebenarnya ia sudah jarang minum obat itu sejak sebulan yang lalu. Kenapa? Karena ia sudah jenuh. Dokter bilang ia punya penyakit mental. Tapi ia tidak peduli. Toh juga masih ada Vi yang bisa menjaganya.
Kirana tahu Gio sedang berbohong. Ia juga sudah tahu kalau Gio jarang minum obat dari sebulan yang lalu.
"Gimana kabar gadis yang kamu temui sebulan yang lalu?" tanya Kirana.
"Maksudnya Vi? Dia baik-baik saja. Bahkan sekarang kami sudah sangat dekat. Dia tinggal di apartemenku sekarang. Aku sudah memutuskan untuk menikahinya dua bulan lagi," kata Gio sumringah.
"Dia tinggal di apartemenmu?"
"Ya. Dia sangat membantuku. Dia selalu memberiku semangat. Bahkan aku merasa sudah sembuh sekarang," jawab Gio bangga.
Kirana memijat pelipisnya.
"Gio, mulai sekarang kamu tidak usah minum obat itu lagi," kata Kirana.
Kirana menekan nomor di telepon lalu mendekatkan gagang telepon ke telinganya.
"Ada pasien rawat inap baru. Tolong datang ke ruangan saya. Cepat, sebelum dia memberontak."
Kirana menutup telepon.
"Gio, saya akan memindahkan kamu ke rumah sakit jiwa karena keadaan jiwa kamu sudah semakin parah. Kamu mengidap kelainan jiwa Schizophrenia. Vi, gadis itu tidak nyata."
"Maksudnya?"
Kirana menghela napas.
"Dia cuma khayalan kamu. Ada banyak kejadian aneh yang terjadi, kan? Seperti, mungkin, kamu melihat dia makan dengan lahap tapi kenyataannya makanan itu malah tidak tersentuh sama sekali."
"Tapi dia nyata. Dia terasa sangat nyata."
Ceklek..
Dua pria besar masuk ke dalam ruangan itu lalu memegang kedua lengan Gio.
"Aku baik-baik saja! Aku gak gila! Vi itu nyata! Vi itu nyata!" bentak Gio sambil memberontak.
"Gio, maaf. Mulai sekarang kamu harus dirawat di rumah sakit jiwa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyakit Mental
Short StorySetiap manusia punya penyakit mental tetapi dengan kadar keparahan yang berbeda. Jadi hal itu tidak membuat saling mengejek.-Its Okay That Love Copyright 2017 ©PlanetPenulisJinggaIndonesia