Jakarta, Februari 1999.....
Cahaya masih nampak sedikit bersinar menyelinap di antara mendung-mendung tipis di arah selatan. Tapi, awan hitam yang lebih pekat di atas kepala remaja laki-laki itu mulai membentuk gerimis halus yang turun, jatuh, lalu lekas menguap dari kulit lengannya bersama hembusan angin. Ia ingin sekali tersenyum lebar, tapi telah lama ia lupa bagaimana caranya tersenyum dengan tulus. Yang tersisa hanya binaran matanya yang tak bisa ia sembunyikan.
Sesekali ia mengangkat bahunya untuk membetulkan posisi gigbag gitar yang digendongnya, ia terus mengayuh sepedanya menuju ke arah Utara. Ke sebuah tempat yang hari ini harus cepat ia hampiri sepulang sekolah. Meski menembus hujan sekalipun nantinya, ia tak mau meninggalkan apapun di hari itu.
Di seberang jalan dari kejauhan mulai tampak kanopi kain berwarna hitam dengan lampu-lampu pijar yang temaram menggantung. Menyala karena siang begitu gelap. Semangat, ia mengayuh lebih kencang, menyebrang, lalu memarkir Stads Fiets Bike yang ia tumpangi persis di depan sebuah toko roti kecil yang terselip diantara barisan ruko-ruko.
Tubuh jakungnya yang tak dapat ia kendalikan perlahan berjalan pelan mendekat ke arah display window. Dengan nafas tersengal-sengal, sejenak ia terpaku mengamati susunan beraneka roti yang terpampang rapi. Warna-warni, berjejer lurus atau sedang berputar pelan di atas nampannya.
Toko dengan cat hitam di kebanyakan sudutnya itu sudah sangat ia kenali semejak beberapa tahun kebelakang. Cahaya-cahaya jingga yang terpantul di beberapa etalase membuat semua yang ada di sana begitu bersinar diantara gelapnya warna ruang. Hangat rasanya bisa datang ketempat itu, meski hanya setahun sekali untuk memesan roti ulang tahun.
Ia beranjak, meraih gagang swing door lalu mendorongnya ke dalam untuk masuk. Sambil mengamati sudut toko yang sepi kali itu, pelan ia mendekat ke meja kasir, ke arah pelayan toko yang tampak meladeni seorang pelanggan perempuan.
"Sayangnya tidak bisa. Maaf, sebentar, saya harus melayani pelanggan saya yang lain." Samar terdengar ucap si pelayan toko itu dengan senyuman putus asa ke arah pelanggan perempuan.
"Tapi saya mohon. Saya bisa melakukan apa saja sebagai gantinya." Perempuan itu menyela tapi tak dihiraukan.
" Ah, Rannas, mau pesan apa ? "
"Plain cake enam inci dengan meringue butter cream. Polos seperti biasanya dan chocolate bar terpisah. " Rannas menjawab cepat.
"Sebentar, akan aku siapkan." Pelayan toko seumuran Rannas itu beranjak dari posisinya, membuka pintu setengah terbuka yang ada di bagian belakang bertuliskan pantry.
"Terima kasih, Erika." Ucap Rannas pelan.
"Jadi namamu Erika..., um, bolehkah aku meminjam uangmu ? Besok akan aku kembalikan. Tolong Erika...!!!" Sahut perempuan itu keras-keras ke arah pantry. Tapi tak ada jawaban dari Erika yang sepertinya sudah lelah terus ditodongi permintaan.
Perempuan itu terpaku melihat cake berwarna merah dengan corak hitam dan putih membentuk wajah kartun tikus di hadapannya. Sesekali ia tersenyum sendiri, lalu berubah muram, senyum kembali, lalu cepat-cepat ia hapus semua ekspresinya yang berubah-ubah saat memandangi sebuah kue. Kali ini ia diam sambil menunggu Erika kembali, siapa tau setelah ini permintaannya bisa dikabulkan.
Sementara Rannas yang berada di sampingnya tak sekalipun menoleh ke arah perempuan itu. Ia menatap kosong ke cake-cake display yang ada di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not-es
Teen Fiction"Pada semua yang datang dan kemudian hilang" Rannas hanya diam, langkahnya tampak perlahan, dan di bahunya itu ia menggendong gitar miliknya kemana-mana. Di tiap gerakan kakinya yang kehilangan arah ia berharap suatu saat ia punya keberanian untuk...