Saat anak seumurannya mengerjakan PR di rumah dengan leha-leha atau bahkan bisa hangout bersama ke mal, dia harus bekerja dari sore hingga malam. Dua realita yang seakan membuat jurang pemisah bagi Irene untuk bergaul dengan anak-anak lain di sekolah. Dia pernah mencoba untuk berteman, tapi akhirnya dia jadi bahan gunjingan karena selalu menolak saat diajak bermain bersama. Oleh karena itu ia memutuskan untuk menutup dirinya daripada memusingkan orang-orang tak penting dan memilih untuk fokus meraih mimpinya.
Dalam benaknya ia sungguh benci hidup sendiri, melakukan ini itu sendiri. Berjalan sendiri, bahkan membagi semua suka dukanya sendiri. Tapi ia percaya, ada kebaikan di balik semua pengorbanan yang ia lakukan.
Sebulan lagi lomba musik yang Firman katakan tempo hari akan berlangsung. Sebulan bukanlah waktu yang panjang untuk berlatih sederet notasi lagu dengan sempurna oleh karena itu ia harus berlatih dan berlatih di tiap waktu yang ada. Karena hal itu tidak akan bisa ia lakukan saat bekerja nanti. Setiap kali bel istirahat berbunyi, lekas dengan berlarian kecil ia menuju ruang musik. Ia mempersiapkan semuanya untuk menampilkannya dengan sempurna tanpa kesalahan setitik pun nanti.
Di tangga turun dari lantai dua, langkahnya yang berlarian tiba-tiba memelan saat ia berpapasan dengan sosok laki-laki ber-earphone yang menutupi kedua telinganya seperti menyumpal semua bising yang ditimbulkan oleh perempuan yang berjalan beriringan dengannya. Perempuan itu berjalan dengan sesekali berjingkat dan berbicara riang.
"Mereka dekat sekali? Apa perempuan itu pacaranya?"
Irene memalingkan wajahnya dari mereka, melihat gelang pita yang ia jaga untuk tetap melingkar di pergelangan tangan kirinya itu dengan sekilas lalu berlari. Langkahnya makin cepat seirama dengan degap jantungnya yang tiba-tiba tak keruan.
"Setelah pertemuan kita di toko roti beberapa bulan yang lalu, aku sadar ternyata kita satu sekolah. Dan diam-diam aku mengamatimu saat kita tak sengaja berpapasan seperti tadi. Entah kenapa aku melakukan itu."
****
Restoran tempatnya bekerja sedang di sewa untuk mengadakan wedding party dan empunya acara memilih untuk mengundang pemain musik lain ketimbang pemusik yang restoran sediakan. Dengan kata lain, hari ini Irene bebas tugas. Kesempatan itu tak ia sia-siakan, sepulang sekolah ia melesat ke ruangan musik secepat kilat.
Irene langsung duduk di bangku panjang yang menghadap ke piano itu. Dengan antusias membuka tas dan meraih sesuatu dari dalamnya. Di hadapannya ia meletakkan berlembar-lembar partitur musik yang isinya ditulis tangan. Partitur itu ia tulis ulang dari buku kumpulan musik yang ia baca dari perpustakaan kota sabtu sore yang lalu. Menurutnya daripada meminjam, lebih baik ia menyalin notasi-notasi musik itu sekalian menghafal karena menulis ulang adalah salah satu cara terbaik untuk belajar baginya.
Jari-jarinya mulai melompat-lompat pelan di atas tuts-tuts piano. Memecah keheningan ruangan musik yang tak dihampiri anggota klub yang memilih untuk pulang. Suara deting menggema mengisi ruang dan beberapa menit ia keasyikan bersama di dalamnya. Sampai tiba-tiba pintu di belakangnya berderit.
"Lagi libur kerja ?" suara Firman terdengar dekat bersama dengan langkahnya yang menghampiri Irene.
Irene menghentikan permainan musiknya segera dan memutar badannya ke sosok itu lalu mengangguk. "Boleh aku aja yang ngunci pintu ? sepertinya bakal agak lama aku di sini."
"Sure." Firman merogoh saku celananya yang mengeluarkan suara bergemerincing lalu menyodorkan sekumpulan kunci ruangan musik dan lemari-lemari penyimpanan alat-alat musik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not-es
Teen Fiction"Pada semua yang datang dan kemudian hilang" Rannas hanya diam, langkahnya tampak perlahan, dan di bahunya itu ia menggendong gitar miliknya kemana-mana. Di tiap gerakan kakinya yang kehilangan arah ia berharap suatu saat ia punya keberanian untuk...