3. Sebuah Rahasia

33 8 1
                                    


Sepulang sekolah, perempuan itu selalu kembali ke Bistro di kawasan Kuningan. Bistro megah yang bersedia menerima lamaran kerjanya untuk jadi pianis pengiring selama dua puluh jam dalam satu minggu.

"Psst, Irene. Ada kiriman lagi tuh dari penggemar lu..." bisik seorang waiters perempuan yang datang mendekati panggung.

Irene tidak menjawab apapun saat menyodorkan tangannya untuk mengambil selembar kertas kiriman itu. Ia hanya meraih lalu meletakkanya di atas pianonya. Sebuah sketsa wajah lagi, sama seperti sebelum-sebelumnya.

"Kayanya fans lu fanatik banget, deh. Hampir tiap senin ngasih kiriman," tambahnya sambil berlalu.

Irene tak ambil pusing dengan ucapan teman kerjanya itu. Ia memilih bersiap. Di balik kacamata, matanya mulai memejam. Jemarinya perlahan menari di atas tuts-tuts grand piano berwarna putih yang terletak di atas panggung bundar bersorotkan lampu jingga di sudut ruangan. Beberapa pengunjung tercenung dalam buaian nada-nada yang ia ciptakan bersama pianonya. Beberapa lagi lebih peduli dengan perut mereka. Atau bahkan tak peduli sama sekali.

Ia yakin bisa menjadi pianis hebat suatu saat nanti jika mengingat bagaimana ia yang dulu mampu menguasai Trois mouvements de Petrouchka di usia delapan. Tanpa jari yang bergetar sama sekali. Ia tak pernah sekalipun merasa sedang ada di tempat yang salah. Dia masih dalam jalur yang tepat menuju cita-citanya sebagai pianis ternama. Hanya saja setiap tujuan harus melewati beberapa jalan. Salah satu jalan yang harus ia lewati adalah sekarang, saat ia harus terus tersenyum di antara kebanyakan orang yang tak memedulikan permainan pianonya.

Tubuhnya kecil tapi tak terlalu mungil. Saat bekerja, rambutnya selalu digelung rapi, bouffant bun. Kulitnya berkilau bersih di bawah sinaran lampu bersama riasan tipis yang mempertegas kecantikannya. Kemeja lengan panjang berwarna putih dengan rok hitam selutut menjadi seragam sederhana yang seakan sedang menutupi mutiara yang paling bersinar sore itu.

Sesekali ia menatap jauh ke arah depan. Pandangannya mencari-cari. Berharap kalau-kalau seseorang datang di antara kumpulan orang-orang dan melihat permainan pianonya. Tapi sampai saat itu masih saja ia tak menemukannya. Ia masih terus menanti datangnya seorang produser musik yang rumornya jadi produser musik tersibuk dan tersukses. Seseorang yang sejak lama ia ingin temui.

Jarinya melambat mengikuti tempo lagu yang mulai pelan di akhir. Tatapannya kini mengikuti tangannya yang bergerak semakin pelan itu. Di pergelangan tangan kirinya ia menemukan ikatan pita kaset yang disimpul mirip gelang. Semakin ia mengamati gelang itu, semakin campur aduk perasaannya antara bahagia dan tersipu. Sebelum jatuh semakin dalam perasaannya ia menyadari not-not lagu mulai menemukan ujungnya. Dua not terakhir dari lagu dan ia menekan tuts piano keras-keras dengan semangat membuncah. Hentakan nada muncul melengking lalu hening.

****

Kantin yang cukup luas itu berubah jadi sempit dan riuh saat isitirahat. Anak-anak berdesakan memesan makanan, berlomba-lomba minta dilayani duluan. Alat pengeras suara yang digantung di sudut-sudut yang harusnya cuma menyiarkan saluran berita, dengan seenaknya diubah ke saluran radio yang memutar tangga lagu mingguan oleh anak-anak kelas tiga. Sekadar untuk mengiringi mereka makan atau ngobrol sampai bel istirahat selesai.

Di sudut kanan, di barisan bangku yang paling panjang sederet perempuan asik berbincang sambil menyantap makanannya. Mereka adalah sekumpulan perempuan yang rajin bertukar informasi, mulai dari lingkup sekolah sampai manca negara, mulai dari siapa yang baru jadian di sekolah sampai fesyen video jockey saluran musik teve parabola. Tidak ada satupun yang luput jadi pembahasan Delia dan teman-temannya.

Not-esTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang