Selain sekolah ini adalah sekolah favorit, sekolah yang paling dekat dengan rumah omanya, sekolah ini adalah sekolah dimana penulis favoritnya menuntut ilmu. Dengan kata lain, ia bisa bertemu dengan orang itu kapan saja ia mau. Tinggal pergi ke kelasnya, ia bisa mengamati Faras dari kejauhan. Bahkan siapa tahu mereka bisa berteman. Siapa tahu?
Selepas istirahat pertama, Tiar langsung menyusuri selasar demi selasar dan mencari plang kelas bertuliskan 3-1. Kelas Faras berada. Kelas itu berada di lantai tiga, tepat berada di samping tangga akses ruangan. Pelan menjurus mengendap, Tiar mengintip melalui jendela kelas. Ia menebar pandangannya ke penjuru ruangan sampai ia menemukan sosok yang selalui ia temui saat ia mengunjungi launching novel-novel favoritnya.
Farass tampak sedang membaca, sesekali ia membenarkan posisi kacamatanya yang melorong hingga mendekati tengah batang hidung. Ia begitu tenang, sampai tiba-tiba ia terusik oleh sosok yang berjalan melewati kelasnya dan lekas saja menggeletakkan buku itu di atas meja dan lekas berlari keluar.
"Irene !" sahutnya keras-keras.
Tiar melihat perempuan yang Faras panggil itu terus berjalan dan menuruni tangga. Ia tak berhenti dan sepertinya tak punya niatan untuk berhenti saat Faras memanggilnya. Faras pun tampak tak mencoba untuk mengejar perempuan itu dan memilih untuk kembali ke kelasnya. Melihat kesempatan itu Tiar pun mencoba untuk menyapa Faras ditemani tangannya yang bergetar dan keringatnya yang mulai terasa dingin.
"Kak, aku penggemarmu dan kita satu sekolah, boleh aku kenalan?' Tiar menyodorkan tangannya dengan wajah yang menunduk setengah canggung dan langkahnya terhenti tak berani maju lebih dekat.
"Lain kali, ya." Ucap Faras dengan nada yang sepertinya tak ingin diganggu.
"Oh, iya." Tiar merendahkan badannya setengah membungkuk meminta maaf telah mengganggu/
"Oke. Makasih ya." Ucap Faras datar.
Langkah mereka pun saling berjalan bertolakan, keduanya diam dan menekuni tiap jejak kaki yang makin jauh.
"Mungkin lain kali...." Tiar berbisik pada dirinya sendiri.
****
Seharian teman sebangkunya itu tak berhenti mengoceh kepada dirinya. Berbicara ini itu tentang sekolahnya yang lama, bertanya ini itu, mencoret-coret buku pelajaran atau menggigt-gigit ujung pensilnya. Seminggu duduk bersama Tiar, Rannas sudah bisa menyimpulkan kalau perempuan itu tak akan bisa duduk tenang meski sedetikpun. Jika bisa Rannas ingin memejamkan mata dan memasang earphone Walkman miliknya sepanjang jam pelajaran tapi daripada alat pemtar musik kesayangannya itu harus ditebus di ruang tatib, lebih baik ia diam tak meladeni sambil menyembunyikan rasa jengahnya."Kalau perkembangbiakan jamur bisa disebarkan angin, dengan kata lain apa panu bisa menular lewat udara?" Bisik Tiar yang bertanya pada dirinya sendiri setelah mendengarkan bu Nuni di depan sana yang sedang menerangkan materi fungus. "Aku nggak mau kena panu, ih." Susulnya sambil menggeleng. "Ran, kamu panuan nggak ?"
Rannas yang dari tadi teguh tak ingin menggubris Tiar tau-tau menoleh dengan mata memicing. "Semakin banyak lu ngomong, semakin banyak udara yang keluar masuk mulut lu, semakin banyak bibit jamur masuk."
"Ha? Panu di dalam organ dalam?" Tiar tampak terkejut dan menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangannya dan membayangkan jamur-jamur tumbuh di dalam badannya.
"Dasar bego."
Kringgg.....
Jam pelajaran akhir berbunyi, memecah konsentrasi murid-murid yang tujuan belajar berubah menjadi pemasuk buku paling cepat ke dalam tas. Sementara Rannas hanya menjumput buku yang ia sembunyikan di laci mejanya, meremas selembar kertas yang tampak dicoret-coret dengan notasi musik saat pelajaran Biologi tadi lalu beranjak pergi meninggalkan Tiar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not-es
Teen Fiction"Pada semua yang datang dan kemudian hilang" Rannas hanya diam, langkahnya tampak perlahan, dan di bahunya itu ia menggendong gitar miliknya kemana-mana. Di tiap gerakan kakinya yang kehilangan arah ia berharap suatu saat ia punya keberanian untuk...