Ada selasar kecil di samping ruangan klub Basket. Jika ditelusuri sampai ke ujung, lorong itu akan tertuju ke sebuah kavling kecil tempat Gasta dan geng kecilnya biasa berkumpul. Tempat itu sengaja mereka pilih sebagai markas karena letaknya cukup tersembunyi dan tidak pernah ada guru yang mengunjungi tempat itu. Dengan begitu mereka bisa bolos jam pelajaran, merokok, atau sekedar duduk-duduk sambil tertawa berisik.
Entah mengapa, siang itu Gasta dan empat temannya lengkap berkumpul di sana. Alasan mereka sama-sama kompak, malas ikut kelas. Kelima anak-anak itu adalah pasien langgangan ruang tatib karena mereka sering kali berbuat seenaknya sendiri dan melanggar peraturan. Bagi mereka, peraturan adalah pengekang kebebasan dan mereka tak suka dibatasi. Toh selama tidak merugikan orang lain, apa salahnya?
Empat orang yang sepemikiran dengan Gasta itu adalah Robi, Dirga, Banyu, dan Ucup. Mereka bisa bertemu karena mereka sama-sama mengikuti klub Basket. Dirga adalah laki-laki dingin yang tak suka diatur. Banyu adalah murid tempramental yang tidak suka dinasehati, Robi adalah murid yang sudah bosan jadi anak baik, dan yang terakhir adalah Ucup, anak yang selalu dianggap remeh murid lain dan ia sudah muak dengan tatapan menghina mereka.
"Gusti sama gengnya minta bantuan kita." Ucap Robi sambil menjumput sebatang rokok ditelinga kirinya meletakkannya di mulut lalu menyulutnya.
"Buat?" Desis Gasta sambil menyemburkan asap rokok dari mulutnya.
"Ngasih pelajaran anak STM seberang."
"Ada apaan?"
"Anak kelas satu pacarnya Gusti dicegat, digoda, dirangkul-rangkul waktu lewat depan STM Taruna."
"Pelecehan." Dirga yang sedari tadi bersandar tenang di dinding hadapan Gasta ikut ambil suara.
Gasta menghisap rokoknya dalam-dalam lalu sedetik kemudian menghempusnya bersama kepulan asap yang lebih banyak. "Selama geng ini bisa ngebantu kebenaran kenapa engga?"
"Gue nggak mau ikut, ah. Kalo ketauan bisa-bisa kita diskors."
Tahu-tahu ada suara perempuan yang menyambar pembicaraan mereka. "Lebih parah lagi kalian masuk rumah sakit atau penjara."
Gianti berjalan mendekati Gasta dengan raut muka menahan kesal. Dengan cepat ia merebut selinting rokok dari tangan Gasta lalu membuangnya. "Gasta nggak boleh ikut tawuran dan kalian jangan sekali ngajak dia lagi !" Gianti menyentaki semuanya dan menatapi tajam mereka satu persatu.
"I am watching you! Always!" Gianti mengatakan itu dengan tatapan menahan marah sekali lagi ke Gasta yang hanya merunduki tatapan itu.
Tak lama Gianti berbalik badan, langkahnya meninggalkan mereka.
"Kalau perempuan yang digoda-goda itu elu. Gue juga akan melakukan rencana ini. Bahkan lebih parah. Kalau perlu, detik ini di depan kepala sekolahnya, gue hajar anak itu sampai tangan kurang ajarnya itu nggak bisa ngapa-ngapain lagi."
Gianti menghentikan langkahnya lalu memutar badannya. "Stop jadi jagoan!"
Dalam langkah meninggalkan tempat itu sungguh ia tak mau melihat Gasta berkelahi apalagi sampai terluka.
****
Tatapannya menebar tak tentu arah. Kosong. Hening dan panas siang itu hanya diisi oleh alunan musik yang sedikit menyemarakan dan mengaliri kesendiriannya dengan nada-nada kencang yang terdengar melalui sepasang earphone-nya. Rannas duduk bersila di tepian loteng, tegap dan membiarkan dirinya larut dalam lamunan sampai terdengar suara pintu loteng yang bergeser.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not-es
Teen Fiction"Pada semua yang datang dan kemudian hilang" Rannas hanya diam, langkahnya tampak perlahan, dan di bahunya itu ia menggendong gitar miliknya kemana-mana. Di tiap gerakan kakinya yang kehilangan arah ia berharap suatu saat ia punya keberanian untuk...