4. Kotak Bekal Merah Jambu

30 8 1
                                    

Sudah lewat sepuluh menit tapi jam pertama belum juga dimulai. Semua wajah yang ada dalam kelas itu terasa asing baginya, Cuma satu yang ia kenal karena pernah satu kelas di tahun pertama. Rannas diam, mengeluarkan kembali Walkman dalam kantung bajunya dan mulai memutar lagu. Sambil mengamati anak-anak dalam ruangan kelas itu ia mengangguk-angguk kecil menghindari kantuk yang selalu menjangkiti murid di kelas pagi.

Gundar, cowok yang rajin datang sekolah pagi-pagi benar cuma untuk mendapatkan tempat duduk paling belakang dan menuntaskan sisa-sisa molor-nya dari rumah adalah yang . Segerombolan perempuan yang bercerita dengan suara keras-keras di sudut kanan tak ia kenali, begitu pula sekumpulan anak laki-laki yang otot-ototan memprediksi skor match Leeds United nanti malam.

Ada yang hilang dari ruangan itu, dan ia merasakannya. Senyum sumringah Gasta kepada jam kosong saat ia bisa berlarian secepat kilat ke lapangan dan Gianti yang sering murung kerena hasil fotonya terbakar. Tawa terbahak-bahak Gasta, dan ketenangan Gianti, kedua kondisi yang bernegasi tapi melengkapi itu resmi tak akan ia rasakan setahun ke depan.

Bayangan panjang terlihat bergerak mendekati pintu. Beriringan dengan suara ketukan sepatu hak tinggi yang semakin nyaring terdengar. Sepertinya akan ada yang berbelok masuk ke dalam kelas.

"Selamat pagi anak-anak." Perempuan paruh baya berbadan tegap dengan seragam Korpri tiba-tiba berdiri di depan kelas dengan posisi siap di tempat. Namanya Ibu Irma. Guru perempuan yang selalu tampak sentimen itu menjadi wali kelas Rannas lagi di kelas 2-2 ini. Melihat ada satu anak yang tertidur dan tak menjawab salamnya, Bu Irma mendekat ke arah Gundar yang terlihat mendengkur pulas. Membelai lembut rambut murid itu. Sontak tatapan anak-anak yang lain tak ingin melewatkannya.

"Bentar lagi, Ma." Ucap Gundar tak sadar, ia tampak keenakan menguap.

Sekejap tangan Bu Irma yang tadi hanya mengusap rambut , berpindah ke arah cambang dan menariknya pelan-pelan ke atas. "Bentar apanya ?"

"Widi....dih" pekik Gundar merasakan perih. Ia terkesiap dan terjaga penuh memasang sikap duduk tegap. "Siap, Bu. Bentar lagi belajar."

"Good." "Perhatian Kelas !" matanya memicing. "Hari ini kita kedatangan murid baru. Dari Bandung." "Silahkan masuk."

Selang beberapa detik kemudian, muncul sosok perempuan dari pintu. Ia berjalan tenang menuju tempat Bu Irma yang sudah kembali berdiri di depan kelas. Dan saat berjalan itu, ia tak henti-hentinya menebar senyuman meski matanya masih belum berani menatap langsung ke arah anak-anak.

Sesaat setelah berdiri di samping Bu Irma, ia membuka topi sekolah yang tadi menutupi rambutnya. Blunt bob tebal berponi samping yang menggantung di atas bahu. Sementara Jaket Jins berwarna putih yang mencaplok sebagian badannya semakin menegaskan betapa mungil dia. Mary Jane flat shoes dengan knee socks memberi aksen untuk menunjang kakinya agar tampak tak pendek-pendek amat.

Rannas tampak tak begitu tertarik mengamati anak baru itu, ia hanya menoleh sekilas dan mengetahui kalau perempuan itu kalau mengantongi notes kecil berwarna merah marun di saku seragamnya.

"Silahkan perkenalkan dirimu." kata Bu Irma singkat.

Perempuan itu maju dua langkah kedepan, dengan sedikit berjingkat menyerupai lompatan kecil anak-anak. Kedua tangannya yang dari tadi bersembunyi di balik badan, muncul untuk melambai kearah anak-anak "Nama saya Tiar Nastiti Wijaya. Salam kenal ! " serunya bersemangat .

"Kenapa kamu pindah sekolah, Tiar ?" tanya Bu Irma

"Kedua orang tua saya harus pindah ke Paris kerena urusan pekerjaan. Jadi saya pindah ke Jakarta dan menetap bersama nenek saya di Lebak Bulus. Mohon bantuannya dan semoga kita bisa menjadi teman yang baik" ucap Tiar dibarengi badannya yang sedikit membungkuk ke arah teman-teman barunya itu.

Not-esTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang