[15] Gak Bisa Dihitung

1.1K 81 1
                                    

Tak terasa, sudah enam hari mereka bersama di villa ini. Tanpa orang tua. Mereka merasa menjadi sangat dekat, entahlah mungkin karena sudah tinggal bersama.

Terutama, Aisyah dan Ari. Dua sejoli itu akhirnya bisa berdamai. Walaupun tidak ada hari tanpa berdebat, setidaknya mereka tidak terlalu seperti dulu, yang apapun dan dimanapun harus berdebat.

"AISYAH!" teriak Sarah, memanggil Aisyah yang sedang melamun sendiri.

"Budek telinga gue, nih! Kenapa sih?" tanya Aisyah kesal.

Sarah menyengir tak berdosa. "Udah ditungguin di bawah, mau makan siang."

"Deluan aja deh, gue mau ke toilet dulu."

Sarah mengangguk. "Yaudah, gue deluan. Cepetan ya, jangan lama-lama. Nanti Ari kangen lagi." Sarah terkekeh dan langsung berlari menuruni anak tangga.

"Sarah gila!" kekeh Aisyah.

Sejujurnya, dia tidak ingin ke kamar mandi. Hanya saja, dia sedang ingin sendiri. Selama di Jakarta, dia belum pernah mendapat pengalaman seindah ini bersama teman-temannya.

Ada banyak sisi temannya yang Aisyah ketahui setelah menginap bersama. Yang jelas, Aisyah sangat sayang dengan mereka. Timbul rasa tak ingin berpisah dengan mereka. Apalagi, mengingat mereka sebentar lagi lulus.

Aisyah jadi menyesal. Kenapa bisa dia menolak keinginan orang tuanya untuk pindah ke Bandung dari kelas sepuluh. Jika saja, dia pindah dari kelas sepuluh, dia pasti memiliki waktu lebih banyak untuk bersama mereka.

"AISYAH! ET BUSET LAMA AMAT TOILETNYA!" teriak Cipa dari bawah, ruang makan.

Aisyah terkekeh, temannya memang tidak sabaran. "IYA BENTAR!" jawab Aisyah.

Aisyah langsung menuruni anak tangga. Terlihat semua temannya sedang duduk di meja makan dan bercengkrama. Mereka masih menunggu Aisyah, sehingga belum menyentuh makanan.

Apakah ini masih bisa gue lihat nanti? Bisa gue rasakan nanti?

"Minta kesambet lo?" tanya Azka, yang membuyarkan Aisyah.

"Enggak dih," ucap Aisyah, lalu terburu-buru berjalan menuju meja makan.

"Nih, ada sup ayam." Cipa menyodorkan sup ayam, yang masih hangat kepada Aisyah.

"Makasih Cipa," ujar Aisyah, sambil tersenyum bahagia.

Hari itu, mereka makan dengan bahagia. Tak ada yang bertengkar, berdebat walaupun masalah sekecil apapun mereka tetap tertawa.

Setelah makan, mereka berkumpul di ruang tengah, lalu memutar film komedi. Sengaja, di hari akhir menginap, mereka ingin banyak tertawa bersama.

"Eh anjir! hapenya di bokong," kata Ajil sambil terkekeh. "Mana pake nyari lagi."

"Ih, jorok banget! Pasti habis itu bau tai," sambung Mauren.

"Masa iya, pencompet nyuri cewek. PHO kali masnya!" kata Cipa sambil terbahak-bahak.

"GARING NJAY!"

"Yang penting hepi!"

"Eh, kita beres-beres dulu yuk," ajak Sarah. "Biar nggak repot, pas pulang, jadi sekarang aja."

Mereka mengangguk, lalu ke kamar masing-masing. Namun, Aisyah masih tetap berada di tempatnya berdiri.

"Kenapa, Syah?" tanya Cipa heran.

"Enggak. Gue ke taman dulu ya. Pengen cari angin segar," jawab Aisyah.

Cipa mengangguk. "Hati-hati ya. Cepetan balik, terus beresin barang-barang lo."

"Apaan sih? Taman belakang doang." kekeh Aisyah, lalu berbalik dan berjalan ke taman belakang.

Pikiran Aisyah menyebar. Dia sangat ingin berada dalam posisi ini sampai kapanpun. Dia sangat bahagia. Bersama mereka, waktu terlalu cepat berlalu. Ingin sekali rasanya, mengulang kembali waktu.

Tidak tahan, Aisyah pun menangis. Mengeluarkan segala unek-uneknya yang dia simpan sedari tadi.

"Syah, kok lo nangis?" tanya seseorang, yang sangat Aisyah kenali suaranya.

Aisyah buru-buru menghapus air matanya, tak mau dipergoki menangis oleh Ari. Lagipula, dia pasti tak akan peduli dan malah mencari gara Aisyah, yang ujung-ujungnya akan menimbulkan perdebatan.

"Gak usah dihapus, gue udah tau lo nangis."

"Ari?"

"Kenapa? Ganteng?" tanya Ari pede.

"Kepedean lo!" kesal Aisyah, tapi entah kenapa, hatinya menjadi sedikit tenang.

"Lo kenapa?" tanya Ari.

"Nggak pa-pa," jawab Aisyah sambil menggeleng cepat.

"Gak usah bohong!"

"Gue beneran nggak pa-pa, Ri."

"Kalau lo nangis dan nggak ada alasan, berarti lo udah gila."

Mata Aisyah melotot. "Lo bilang gue gila?!"

"Makanya, lo nangis kenapa?" tanya Ari sekali lagi.

"Gue... gue nggak mau hari ini cepat berakhir. Gue nggak mau pisah dari kalian." Aisyah segera menundukkan kepalanya.

"Kalian atau gue, nih?" tanya Ari dengan kepedean tingkat dewa.

"KALIAN!" pekik Aisyah kesal.

"Doain aja, biar sekelas."

"Iyaa."

Mereka terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya Ari membuka suara kembali.

"Syah, lo tau gak benda apa yang gak bisa dihitung?" tanya Ari.

"Gula, garam, banyaklah," jawab Aisyah.

"Apa lagi? Yang istimewa?"

"Hah?" tanya Aisyah bingung.

"Cintaku padamu," jawab Ari, sambil menunjukkan senyum manis yang dia miliki.

Aisyah terdiam. Matanya menatap Ari lekat-lekat. Ternyata ada sisi lain yang dimiliki Ari selama ini.

"Kok ngelamun?" tanya Ari. "Gue tau gue ganteng."

"Iya-iya. Yang bilang nggak siapa?"

"Makasih."

"Gue—masuk deluan ya?" ujar Aisyah. Dia tak bisa lebih lama lagi menyembunyikan degup jantungnya yang semakin cepat.

"Eh, temenin gue lah, gue kan udah ngehibur lo," ucap Ari.

"Ngapain?" tanya Aisyah bingung.

"Buat anak," jawab Ari sambil terkekeh.

"NAJIS!" teriak Aisyah, lalu berlari meninggalkan Ari.

"HOYY!" teriak Mauren, mengangetkan Aisyah yang sedang berdiri di depan jendela kamar.

"GARING!" tegas Aisyah kesal.

"Ngapain senyam-senyum sendiri hah?"

"Hah? Enggak!" jawab Aisyah gugup.

"Gak papa, kok gugup? Aneh!"

"Kepo banget sih!!l Udah sono tidur! Besok kan mau balik."

"Iya mak, lo?"

"Gue juga, yuk,"  ucap Aisyah.

TBC

IGNORANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang