12

19 1 0
                                    

Pada akhirnya, Keel tidak pernah sadar akan kekuatan milik Riel. Juga perasaannya. Hatinya terbendung oleh kekuatan Leviathan. Matanya tertutupi senyuman sahabatnya. Mulutnya terkunci pikirannya. Kini, yang merasa terjebak dalam sangkar adalah Keel.

Riel menjadi pembimbing Keel yang semakin menumpul indra normalnya.

"Karena ledakan kelahiran naga baru... Kita harus bersiap-siap, Keel." Riel melepaskan perban yang tadinya melilit dada temannya itu. Lukanya hampir pulih sepenuhnya. "Tapi, kali ini banyak sekali yang memilih berlatih sebelum memakan naga lain, jadi kita punya waktu untuk mempersiapkan diri lagi."

"Hm." Keel melayangkan pandangannya ke langit malam lewat jendela kamar penginapan yang mereka sewa. "Riel."

"—Ya?" Riel yang agak kaget merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Belakangan ini Keel jarang memanggilnya langsung dengan nama—makanya Riel jadi kaget.

"...Kali ini kita akan kemana?"

"Ah, eh?" Riel jadi bingung. "Biasanya kamu yang menentukan, 'kan?"

"....." Keel diam sejenak. "Rasanya... Aku tidak begitu tahu harus kemana. Kau kan yang sekarang banyak ke kota dan mencari informasi? Apa ada hal menarik lagi?"

Ah, akhirnya Keel yang dingin bisa ditembus untuk malam ini saja! Riel berpikir sebentar. "Bagaimana kalau kita mencari Pohon Awan?"

"Apa itu?"

"Belakangan, karena munculnya banyak naga baru, beberapa dewa-dewi membuat tempat santai mereka sendiri. Katanya sih, naga tidak bisa masuk. Tapi, kalau setengah naga, bisa. Di sana, ada buah pesan dan buah wujud yang bisa mengabulkan keinginan kita sesuai buah itu!"

"...Seperti mimpi saja." Tawa kecil lepas dari mulut Keel. Sudah lama sekali...

"Iya! Tapi... Kalau itu benar... Asik, 'kan?" Riel jadi bersemangat. "Apa permohonanmu?" tanyanya sambil mundur dari Keel. Luka-lukanya selesai ditangani.

"...Entahlah." Keel mengecek tubuhnya. "Mungkin agar aku bisa kembali normal...?"

"Hmm." Dia menatap temannya yang sudah menjalani banyak hal. "Berarti, kau harus makan buah wujud, dong. Kalau aku, akan makan buah pikir."

"Apa bedanya...?"

"Hehe. Itu..." dan percakapan mereka berlanjut hinggafajar datang.

Jibril MikailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang