09 - Pertama kalinya

96K 6.1K 162
                                    

Adara mengayuh sepeda, tujuan awalnya adalah rumah Aldo untuk melihat bagaimana keadaan Aldo. Namun setelah Adara sampai di depan gerbang rumah Aldo, ia mengurungkan diri untuk masuk ke dalam, mengingat orangtua Aldo tidak menyukai dirinya.

Adara kembali mengayuh sepeda, tujuannya kali ini menuju taman. Taman yang sewaktu itu Aldo membuat suprise saat anniv hubungan mereka yang ketiga tahun. Tidak butuh waktu lama, hanya perjalanan lima belas menit Adara sampai di taman. Ia turun dari sepeda kemudian duduk di bangku panjang di bawah pohon mangga.

Adara melihat jam tangan yang melingkar pas di tangannya, pukul 15:09. Pantas saja suasananya begitu tenang, sinar matahari pun tidak terlalu menyengat di kulit. Adara mendongak ke atas, melihat pohon mangga yang lebat buahnya.

"Kayaknya enak siang-siang gini makan mangga," ucap Adara kemudian bibirnya tersenyum semringah. Adara beranjak, melangkah mendekati buah yang ia incar.

Adara berjinjit susah payah, sesekali melompat untuk mengambil buah mangga hingga dirinya merasa lelah. Dan akhirnya Adara melihat sebuah kayu, dengan cepat Adara mengambil kayu itu.

"Susah banget sih!" Adara mencoba memukul mangga yang menggantung dengan kayu namun tetap saja tidak sampai. Sekali pukul mangga itu tidak jatuh malah bergoyang-goyang membuat Adara semakin susah untuk memukul.

Di seberang jalan, Gerald terkekeh melihat tingkah Adara yang menggerutu kesal karena buah mangga. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi membuat Adara susah untuk mendapatkannya.

Gerald beranjak, menyeberangi jalan untuk mendekati Adara berniat ingin membantunya. Adara mendengar suara orang tertawa kecil, ia membalikkan tubuhnya. Saat melihat Gerald, kedua mata Adara tidak berkedip membuat Gerald melebarkan senyumnya.

"Gue tahu kalau gue ganteng," ucap Gerald lalu mengambil kayu yang Adara pegang. Adara mengerutkan kening dan mulutnya seakan-akan mengatakan 'ha'.

"Makanya jadi orang jangan kecil-kecil," Gerald menyerahkan dua buah mangga segar yang menggoda untuk dimakan.

Adara mendengus kesal, tak lama kemudian Adara mengambil dua buah mangga yang Gerald sodorkan untuknya. Adara mencium mangga itu, baunya yang harum membuat Adara ingin memakannya.

"Lo nyolong mangga orang," celetuk Gerald. Adara menatap Gerald sinis. Nyolong mangga orang bagaimana? Orang di sini taman, dan yang pasti siapapun boleh makan mangga ini, menurut Adara, sih, seperti itu.

"Serah lo deh."

"Mau makan mangganya? Gue pinjem pisau bentar di warung sana." Tidak ada respon dari lawan bicara, Gerald melangkah pergi menuju warung dekat taman untuk meminjam pisau. Adara dengan setia masih menciumi buah mangga itu, melupakan Aldo dan mengabaikan Gerald hanya karena sebuah mangga.

Tidak butuh waktu lama, Gerald kembali sembari membawa pisau. Gerald duduk di samping Adara, tangannya menengadah meminta mangga yang Adara ciumi untuk ia kupas.

Adara memerhatikan Gerald yang sedang mengupas mangga dengan telaten. Sudah beberapa kali ketemu namun Adara belum mengetahui nama Gerald, berbeda dengan Gerald yang sudah mengetahui nama Adara dari Agil.

"Aw!" Gerald memekik kesakitan saat pisau tajam mengenai jarinya.

"Eh, hati-hati dong. Tuh, kan, berdarah." Adara meraih jari Gerald yang sedikit terluka. Dengan cepat Adara mengambil tisu yang berada di tas gendong kecil yang selalu ia bawa kemana-mana.

Adara membersihkan darah di jari Gerald. Saat mendongak, bola matanya bertemu dengan bola mata Gerald. Adara merasa canggung dan akhirnya melepaskan jari Gerald yang semula ia genggam.

"Sini, biar gue aja yang ngupas." Adara mengambil alih mangga yang berada di tangan Gerald. Mengupasnya secara perlahan. Dagingnya sangat empuk, warna orange sangat menggoda. Adara membagi potongan mangga untuk Gerald, mereka memakan mangga bersama.

"Enak ya, mangganya manis. Apalagi makannya di samping cewek manis, bisa-bisa gue diabetes." Adara tersedak saat Gerald mengucapkan kalimat yang tidak terlalu panjang namun itu berhasil membuat Adara kaget. Dengan santainya Gerald memakan mangga tanpa memedulikan Adara yang terbatuk-batuk.

"Santai aja kali, nggak usah sampe kesedak gitu," celetuk Gerald kembali.

Adara melirik Gerald sekilas lalu melanjutkan makan mangga setelah batuknya mereda.

"Btw, yang dipukulin di sekolah tadi itu cowok lo?" tanya Gerald. Adara hanya menganggukkan kepala karena ia masih menikmati buah mangga.

"Terus kenapa sekarang lo ada di sini? Kenapa lo nggak jenguk dia?"

Adara berhenti mengunyah meski di dalam mulutnya masih ada mangga yang belum ia telan.

"Tadi gue udah nyampe gerbang rumah dia, tapi gue nggak berani masuk karena orangtua dia nggak suka sama gue," kata Adara.

Gerald mengerutkan kening. Adara melanjutkan memakan mangga yang masih ada di tangannya.

"Kok gitu?"

Adara menarik napas lalu perlahan membuangnya. Jika mengingat itu semua, dadanya terasa nyeri.

"Mereka bilang gue itu jalang. Gue berasal dari keluarga yang nggak jelas menurut mereka."

Gerald semakin dibuat penasaran dengan apa yang diucapkan Adara. Mau Adara menyebut dia kepo, itu terserah, karena memang nyatanya Gerald ingin tahu.

"Orangtua lo?" Gerald bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan Adara.

"Orangtua kandung gue nggak tahu siapa. Gue diasuh sama orangtua angkat gue, mungkin itu alasan mereka nyebut gue berasal dari keluarga yang nggak jelas."

Gerald menatap Adara yang menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. "Lo tinggal di panti asuhan?"

Adara menggeleng pelan. "Dari bayi gue diasuh sama orangtua angkat gue. Mereka nemuin gue di tempat sampah! Mungkin orangtua kandung gue nganggap gue sama halnya dengan sampah, padahal sikap mereka jauh lebih buruk dari sampah. Orangtua macam apa yang tega membuang anaknya sendiri. Walaupun mereka begitu, mereka nggak tau kalau gue kangen, kangen sama mereka dan ingin ketemu."

Ternyata di balik wajah cantik Adara, yang membuat Gerald terbayang tentunya. Adara menyimpan beribu luka yang orang lain tidak mengetahuinya.

"Mereka nggak tahu, kalau sekarang anaknya tumbuh dengan cantik seperti Cinderella," ucap Gerald. Adara melirik Gerald, tak lama dirinya tersenyum. Bukan, bukan senyum karena ia senang dipuji oleh seseorang. Melainkan senyum hambar yang ia perlihatkan. Dan hanya dirinya yang tahu arti dari senyuman itu.

Cinderella? Ah ayolah, mengapa orang-orang di sekitarnya selalu berlebihan. Aldo mengatakan bahwa dirinya seperti bidadari, kedua orangtuanya mengatakan dirinya seperti putri, dan sekarang seseorang yang belum ia kenal mengatakan dirinya seperti Cinderella.

Dunia itu kejam, kekejaman dunia akan terasa tidak nampak bila kita dikelilingi orang-orang seperti malaikat tak bersayap.

IPA & IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang