"Kenapa kamu datang, di saat aku sedang berjuang melupakan?"
🌹
Di dalam angkot, Adara gelisah. Sesekali ia melihat arloji dengan ekspresi meringis. Hari ini, keadaan Adara lebih baik dari hari kemarin. Mungkin tidak dengan keadaan hatinya, siapapun orangnya, jika setelah kehilangan hatinya tidak akan baik-baik saja. Hari ini, Adara akan melupakan semua kejadian-kejadian di hari kemarin. Kenangan bersama Aldo akan ia kubur sedalam mungkin pada peti masa lalu. Semua luka yang tergores di hati akan ia obati secepat mungkin.
Ya bisa dikatakan Aldo adalah cinta pertama Adara. Jadi maklum kalau nanti Adara susah melupakan Aldo. Mereka pacaran dari kelas tiga SMP, sebelum masuk SMA keduanya punya rencana untuk masuk ke SMA yang sama, tapi tidak terwujud karena masalah selera. Adara tidak suka sekolah di SMA Harvard karena murid-muridnya itu lho yang bikin Adara males untuk sekolah di sana. Murid-muridnya pada sombong mamerin harta orang tua, ya bisa dikatakan SMA Harvard itu sekolah anak berkelas tinggi, maksudnya anak orang kaya gitu. Biayanya juga mahal. Beda sama Lazuard, meski murid-muridnya kebanyakan berandalan semacem Gerald, di Lazuard murid-muridnya tidak seperti di Harvard.
Hari ini Adara benar-benar merasa sial. Angkot yang ia tumpangi terjebak macet, Adara mengembuskan napas. Akhirnya, ia memilih turun dari angkot, berlarian di trotoar jalan untuk mengejar waktu yang beberapa menit lagi gerbang sekolahnya akan ditutup. Sesekali Adara berhenti berlari, napasnya tersengal-sengal. Adara berjongkok, mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum kembali berlari. Jaraknya sudah lumayan dekat, hanya beberapa meter lagi.
Saat ingin kembali berlari, Adara terdiam melihat seseorang yang entah sejak kapan berdiri di hadapannya. Kedua mata Adara memanas saat melihatnya. Adara mundur selangkah, memejamkan mata kemudian mengembuskan napas. Lebih baik Adara putar balik dan tidak masuk sekolah daripada harus berhadapan dengannya. Adara balik badan namun orang itu mencekal pergelangan tangan Adara. Adara menggelengkan kepala, ia tidak ingin melakukan drama seperti kemarin lagi.
"Adara."
"Lepasin, Do!" Adara menepis tangan Aldo yang mencekal pergelangan tangannya.
Aldo memutar bahu Adara supaya Adara menghadap dirinya. Adara menunduk, tidak mau menatap Aldo lagi. Intinya, Adara tidak ingin menjatuhkan air mata di depan Aldo lagi, jangan sampai deh Adara jadi cewek lemah gara-gara cowok. Adara bisa buktiin sama Aldo kok, kalau Adara bisa hidup walaupun tanpa dia. Adara tidak mau jadi remaja alay, yang kalau diputusin cowoknya nangis tujuh hari tujuh malam, galau keterusan, terpuruk, berkoar di sosmed dengan meng-update status quotes, ya mending kalau quotesnya buatan sendiri, itu sih copas, payah. Dan lagi, meng-upload foto pergelangan tangan yang ngeluarin darah karena sehabis disilet. Duh, Adara nggak seperti itu. Adara memang nangis semalaman, tapi Adara sudah pastikan setelah itu ia tidak akan menangis lagi.
"Aku minta maaf, Adara," ucap Aldo, menggenggam kedua tangan Adara. Sesegera mungkin, Adara menepis.
"Sorry, Do, gue buru-buru." Adara ingin melangkah, namun Aldo menahannya.
"Dara, please. Aku mau ngomong sama kamu!" Aldo memegang kedua bahu Adara, bola mata hitam miliknya menatap kedua mata Adara yang menatap dirinya tajam.
"Lo mau ngomong apa? Jangan buang-buang waktu. Waktu gue terlalu berharga buat berurusan sama lo," kata Adara. Ucapannya sama persis seperti yang Aldo ucapkan waktu itu di parkiran Mall.
Aldo memalingkan wajah, ucapan yang baru saja Adara lontarkan sangat getir didengar Aldo, seakan ucapan Adara adalah sebuah silet tajam yang menyayat hatinya, perih. Itu yang dirasakan Adara sewaktu Aldo melontarkan kata yang menyayat hatinya.
"Kamu bales dendam sama aku?" Aldo memang pintar dalam bidang akademik ataupun non-akademik, tapi jika sudah berhadapan dengan seorang cewek, Aldo seperti orang bodoh.
"Saya tidak dendam, tapi saya ingat!" Terakhir kali, Adara mengucapkan kata dengan bahasa formal. Tidak mau lama-lama berhadapan dengan Aldo, Adara melangkah pergi dari hadapan Aldo. Ia kembali berlari, sedangkan Aldo masih terdiam.
Adara melihat jelas banyak sekali luka di wajah Aldo. Ya sebenernya sih bukan wajahnya aja yang terluka, tapi hatinya juga. Wajah Aldo memar, babak belur seperti orang habis dipukulin. Sempat ada rasa kasihan yang menyelinap pada diri Adara, tapi Adara tepis rasa kasihan itu. Aldo saja tidak kasihan pada Adara, jadi untuk apa Adara kasihan pada Aldo?
_____
Adara bersyukur masih bisa masuk ke dalam gedung sekolah. Kini kelas Adara sedang melakukan pemanasan di lapangan. Ya, hari ini olahraga. Ini sih kesempatan Gerald untuk terus memerhatikan Adara dari dalam kelasnya. Gedung Ips di bawah jadi dekat dengan lapangan, kalau gedung Ipa di atas, enak untuk melihat para cogan jika sedang bermain basket.
Di dalam kelas, Gerald senyum-senyum sendiri. Tidak memerhatikan guru Sejarah yang sedang menerangkan materi. Bagi Gerald, Adara adalah objek menarik yang tidak bosan untuk Gerald pandang.
"Subhanallah," Gerald menggeleng-gelengkan kepala saat melihat Adara tersenyum. Padahal Adara bukan tersenyum pada dirinya.
"Gerald!" Bu Eti marah. "Daritadi saya perhatikan kamu tidak perhatikan saya!"
"Mau banget ya, Bu, diperhatikan sama saya?" Gerald malah menambah Bu Eti wajahnya semakin memerah.
"Kita sedang belajar Sejarah, tapi kamu malah melihat keluar terus! Papan tulisnya ada di sini, Gerald. Bukan di lapangan!"
"Males ah bahas masa lalu, nanti yang ada malah gagal move on," celetuk Gerald. Bu Eti menggelengkan kepala.
Di lapangan, Adara dengan tiga temannya sedang bersiap-siap untuk balap lari. Adara deg-degan, karena takut kalah. Dari kecil Adara tidak mempunyai bakat balap lari.
"Satu, dua, tiga ... priiit!"
"SEMANGAT ADARAAAAA!" dari dalam kelas Gerald berteriak menyemangati, meski Adara tidak dengar. Semua mata yang berada di dalam kelas tertuju pada Gerald. Baru saja Bu Eti redam amarahnya, gara-gara Gerald, wajah Bu Eti kembali memerah, dalam hitungan detik Gerald akan mendapatkan balasannya.
"GERALD! KELUAR KAMU DARI KELAS SAYA!"
Ini sih rezeki buat Gerald, bisa keluar kelas saat jam mata pelajaran si doi di luar kelas. Asik, Gerald bisa memerhatikan Adara sebebas mungkin tanpa adanya gangguan suara Bu Eti. Baru saja Gerald ingin duduk, ia melihat Adara terjatuh. Gerald berlari untuk mendekati Adara, tidak butuh waktu lama Adara sudah dikerumuni teman-teman sekelasnya.
Gerald menyerobot, agar bisa melihat Adara. Ia melihat Adara meringis kesakitan sembari memegangi lututnya.
"Adara," sepasang bola mata Gerald bertemu dengan bola mata Adara. Keduanya saling tatap. Ya ini sih udah kayak di film-film gitu. Tapi Gerald suka keadaan seperti ini, dimana dua bola matanya menatap sepasang bola mata Adara. Darah yang berada di tubuhnya berdesiran membuat jantungnya berpacu dua kali lebih cepat.
"Ekhem," Adara berdehem, untung saja Gerald peka. Jadi Gerald langsung mengalihkan pandangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IPA & IPS
Teen Fiction[PROSES PENERBITAN] Menurut anak IPA, anak IPS itu terlalu bodoh. Hanya bisa mengandalkan kenakalan, berbeda dengan anak IPA yang membanggakan prestasi yang diperoleh. Dan menurut anak IPS, anak IPA terlalu sombong. Selalu saja memamerkan kepintaran...