"Kapan-kapan, gue boleh main ke kelas lo lagi, 'kan?" tanya Fania semangat.
"Terserah," jawab Adnan datar.
Saat ini Fania sedang berada di kelas Adnan. Adnan heran, sejak kapan ia bisa seakrab ini dengan orang yang baru ia kenal. Mungkin ia hanya mengusir rasa bosan.
Sejak tadi, Fania sibuk bercerita. Entah itu kehidupan pribadinya atau guru-guru di kelasnya yang katanya lucu. Adnan hanya mendengarkan dengan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Bani dan Vino pun sejak tadi menggoda Adnan. Entah dibilang gebetan baru, pacar baru atau yang lain. Bahkan Bani meminta Adnan untuk mengiklashkan Fania saja untuk berganti menjadi gebetannya. Padahal, Adnan tidak berfikiran sampai ke situ.
"Em, Nan. Gue balik ke kelas dulu ya," pamit Fania sambil tersenyum. Bel masuk sudah berbunyi.
"Oke," jawab Adnan berdiri untuk memberi jalan Fania ke luar dari bangku.
"Dadah, Adnan," seru Fania sambil melambaikan tangannya. Ia menghadap belakang dan berjalan mundur.
"Adoh!" teriak seseorang yang terjatuh.
Fania pun berbalik karena merasa ia menabrak seseorang. Dan ia lihat orang itu terkapar di lantai di hadapannya. Ia hanya memandang ke bawah dan menaikkan sebelah alisnya sambil menatap dengan tatapan tanpa dosa.
"Heh! Kalo jalan itu pake mata!" teriak Allisha lalu berdiri.
"Jalan dimana-mana itu pake kaki kali mbak," jawab Fania sarkastik lalu melenggang pergi.
Allisha berbalik memandang Fania, "Heh! Gue bukan embak-embak!"
Bani dan Adnan lalu tertawa sekencang-kencangnya membuat perhatian dari seisi kelas–yang baru kembali entah dari mana–menoleh ke arah mereka.
"Dasar, mbak-mbak," kata Adnan setelah meredakan tawanya.
Allisha pun berbalik melihat Adnan lalu menunjuk, "Lo, nggak usah ikut-ikutan!"
Lalu Allisha kembali ke tempat duduknya dengan cukup emosi. Ia mencoba menulikan telinganya saat Adnan terus memanggilnya dengan panggilan barunya : "Mbak Kos,". Oke! Mungkin kalo 'mbak' saja masih wajar. Namun, kenapa harus ada embel-embel 'kos' di belakangnya? Kan kesannya jadi gimana gitu, pikir Allisha. Mulai sekarang ia harus mencari panggilan baru yang lebih pedas dan menusuk. Apa ya?
"Sabar ya, Ca," suara Karin membuyarkan lamunan Allisha.
Mendengar suara Karin mengingatkannya mengenai kejadian tadi pagi. Saat sesosok hijau menempel di pundaknya yang membuat ia teriak-teriak yang ternyata hanya daun kecil yang tidak ada apa-apanya. Mungkin satu kelas sudah melupakannya tetapi tidak untuknya. Kejadian itu masih melintas di bayangannya.
Allisha melengos tanpa memperdulikan perhatian Karin yang tidak akan bisa membayar rasa malunya. Ia masih ngambek.
"Icaa, masih marah ya?" tanya Karin cemas.
Allisha masih diam tanpa menoleh.
"Gue bakal lakuin apa aja deh, tapi maafin gue," rengek Karin menarik-narik tangan Allisha membuat ia risih.
Allisha masih melengos. Namun, kalau dipikir-pikir lagi boleh juga. Allisha jadi berfikir dua kali.
"Yakin apa aja?" Allisha mulai tertarik dan menoleh pada Karin.
"Yakin!" jawab Karin antusias, sangat yakin setelah ini Allisha akan memaafkannya.
"Okei," Allisha mulai berfikir. Apa yang akan dimintanya. Ini kesempatan berharga, ia tidak boleh melewatkannya. Kebetulan perutnya lapar, dari pagi belum makan. Niatnya tadi ia akan sarapan di kantin saat jam istirahat kedua, tapi ia sedang ngambek dengan Karin. Ia mau ke kantin dengan Angel dan Wulan, tapi keburu ditinggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adsha (On Going)
Novela JuvenilMembuat hatinya rapuh memang mudah, tapi mengembalikannya tak semudah membuatnya rapuh. © Copyright October 2019 by Indahkusuma