ONE...

32.6K 1.1K 14
                                    

Cerita di Chapter ini aku dedikasikan untuk -Ifoneeeeee-,-Nanubeauty-,-Fietrie-,- yang udah komentar di bab sebelumnya. Makasih sudah komentar.  Jangan bosan membaca ceritaku yaa. Anyway, ini bab pertama di cerita baruku. Hope you guys enjoy my story :)

****

FABLO…

            Aku akan pindah ke Zurich. Demi Tuhan… itu bukan gagasan yang baik. Sejujurnya aku tak menyukai ide ini. Tapi Mom dan Dad mati-matian menyuruhku dan aku akhirnya mengalah. Sebenarnya aku akan pindah ke Zurich bukan tanpa alasan. Mom dan Dad telah membuka residen mewah baru di kawasan Wollishofen. Mereka tak betah disana karena memang hidup mereka hanya untuk berada di New Zealand dan sebagai gantinya, akulah yang harus pindah kesana. Menyebalkan bukan? Shit!

            Sangat berat untukku meninggalkan New Zealand. Aku mencintai negara ini sampai aku mati. Negaraku negara yang indah dan aku bangga menjadi salah satu penduduknya. Aku memang sudah sering ke negara lainnya di kawasan Eropa, Asia dan Amerika. Namun aku selalu ingin kembali ke New Zealand. Dan sekarang aku akan kesana dalam jangka waktu lama. Aku memandangi tiket dan paspor yang ada di mejaku. Asistenku baru saja mengantarnya tadi dan aku benar-benar unmood sekarang. Aku segera berdiri dan mengambil kunci mobil. Aku ingin menenangkan pikiranku sebentar. Aku ingin ke kantor Alan-sahabatku. Aku berjalan menuju parkiran dan segera menjalankan mobilku ke jalanan. Hatiku sedikit tenang ketika memandang taman-taman yang dijaga dengan baik oleh pemerintah dan digunakan orang lain untuk bersantai. Namun ketenanganku segera buyar ketika Mom meneleponku dan memberitahuku untuk segera packing seluruh barang yang akan aku bawa. Holy Crap!

            “Begitu kau sampai kemari kami akan segera pulang ke Auckland, Fablo. Kau tahu, kan aku tak betah di negara orang.”

            “Oh, baiklah Mom. Eeee, aku sedang di jalan Mom. Kau bisa meneleponku nanti.”

            “Pastikan kau segera menyiapkan semuanya, Fablo. Lusa kau akan berangkat.”

            Klik. Telepon sengaja ku putuskan dan aku menghempaskan ponsel ke kursi penumpang. Dan sekarang aku tidak mood untuk kemanapun.

***

            “Kenapa kau harus pergi, Fablo, kau tahu aku pasti akan kehilangan.” Sharma memelukku. Pelukan perpisahan. Ah, aku ingin menangis sekarang. Kami sudah berada di Auckland International Airport dan Alan beserta istrinya-Sharma, mengantarku ke bandara. Aku sebenarnya tak ingin di antar. Aku tak ingin perpisahan ini membuatku sedih. Aku bisa di antar supir. Namun mereka memaksa dan yaa, lagi-lagi aku mengalah. Dan sekarang aku benar-benar sedih meninggalkan orang yang aku sayangi disini. Sharma, Alan, sahabatku yang lainnya. Semuanya terasa berat untuk ku tinggal pergi.

            Sharma melepaskan pelukannya. Ia memandangiku dengan tatapan sedih.

            “Berjanjilah untuk kembali kesini. Dan jangan sampai hilang kontak, oke?”

            Aku mengangguk. Kini, giliran suaminya yang memelukku dan Sharma mulai menangis disana. Ooh, tidak. Aku benci situasi ini. Berbeda dengan Sharma, Alan hanya memelukku sekilas. Ia hanya mengucapkan goodluck untukku dan ia merangkul Sharma yang sedang menghapus airmatanya. Aku bahagia melihat mereka kembali bersatu dan tampak bahagia sekarang. Alan benar-benar menepati janjinya untuk membahagiakan Sharma dan aku melihat buktinya. Ia begitu mencintai Sharma dengan sepenuh hatinya.

            Bagian informan memberitahukan bahwa pesawatku sudah siap untuk berangkat dan aku harus segera bergegas menuju pesawat sekarang. Aku pamit dengan kedua orang yang benar-benar aku sayangi itu dengan berat hati. Sharma sempat melambaikan tangan padaku dan itu membuatku semakin sedih.

REMEMBER ME... ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang