ELEVEN...

10.1K 586 14
                                    

###

LANA...

            Aku terbangun dan segera kedapur karena leherku begitu terasa seperti terisi pasir. Setelah Fablo keluar dari kamar aku segera berusaha mati-matian untuk tidak menjatuhkan air matanya. Menghindarinya membuat hatiku sakit. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku takut aku hanya menjadi beban untuknya. Aku mencintainya dan aku ingin ia bahagia. Namun aku tak akan pernah membahagiakannya dengan penyakit ini yang bersarang di badanku.

            Aku segera ke dapur dan menemukan Gracia sedang menyedot debu karpet di ruang TV. Aku tersenyum padanya dan ia langsung melepaskan vacuum cleaner dan menghambur ke pelukanku. Pelukan seorang ibu. Begitu hangat. Aku bertanya-tanya apakah setelah aku lahir aku dipeluk oleh ibuku. Aku bahkan sangat ingin tahu bagaimana rasanya dipeluk oleh seorang ibu dan sekarang aku tahu bagaimana rasanya. Begitu nyaman. Begitu damai. Begitu menenangkan.

            "Kau kemana saja beberapa hari ini? Aku menanyakannya pada Fablo dan ia bilang kau menginap dirumah temanmu. Apa kalian bertengkar?" Ia melepas pelukanku.

            Aku mengerjap dua kali dan menatapnya. Fablo tak memberitahu yang sebenarnya.

            "Ya..temanku sedang tinggal sendirian karena orangtuanya sedang keluar kota. Jadi aku menemaninya beberapa hari."

            Gracia mengangguk dan ia mengusap wajahku."Apakah kau bertengkar dengan Fablo? Tadi dia begitu terlihat nelangsa sebelum pergi.."

            Pergi? Fablo pergi kemana? "Apakah ia sudah pergi ke kantor?"

            Gracia menggeleng."Tidak. Ia ke Bern. Ada urusan sebentar. Tapi ia tak tahu kapan bisa pulang."

            Aku terdiam sejenak. Fablo pergi ke Bern? Ada urusan apa?

            "Cepatlah berbaikan kalian berdua, karena aku tahu Fablo mencintaimu dan ia terlihat sedih dan terluka. Apapun masalah kalian, bicarakanlah baik-baik," Gracia lalu mendesah."Ah, aku terlalu banyak ikut campur. Kau sarapan lah di meja makan. Aku harus melanjutkan pekerjaanku."

            Gracia kembali memegang vacuum cleaner dan aku masih terdiam di posisiku. Fablo tampak begitu terluka, apa ia terluka karena sikapku? Aku memejamkan mata. Ya Tuhan, ini tidak adil untuknya. Ia sama sekali tidak bersalah dan aku merasa berdosa padanya. Dia sangat baik. Dan aku tahu dia mencintaiku.

            Baiklah, aku akan menyelesaikannya jika ia pulang nanti dari Bern.

            ***

            FABLO...

            Setelah makan malam yang membosankan, entah kenapa aku yang diharuskan mengantar Donna ke hotel tempatnya menginap. Aku malas untuk berdebat dan mau tak mau aku mengantarnya. Donna anak yang ramah, mudah bergaul, dan wawasannya luas. Namun aku tak tertarik padanya. Mungkin jika sebelum bertemu Lana, aku akan memikirkan untuk mengajaknya berkencan, namun sekarang Lana yang memenuhi hatiku. Dan tak ada yang bisa menggantinya.

            "Jadi sebenarnya kau tinggal di Zurich, bukan di Bern?"

            Aku menolehnya disela-sela mengemudi. "Yaa, aku kesini hanya menuruti keinginan orang tuaku."

            "Apa kau menyesal telah menuruti mereka?"

            "Entahlah, aku tak tahu. Aku juga tak tahu kalau mereka ingin mempertemukan kita."

REMEMBER ME... ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang