Lima

194K 19.9K 928
                                    

Hanya untukmu ...

Demi dirimu ...

***

Ruka tidak tahu hal apa yang membuat Seyna begitu panik? Dia mencoba mendekat tapi Seyna mendorongnya mundur.

"Pergi!"

"Sey?"

Undied selalu mengarah. Siapa pun yang menjadi target mereka, sasaran mereka pasti mati.

Seyna mendorong Ruka saat lagi-lagi Undied itu nyaris menggenggam kepala si pemuda. Namun di detik yang sama, Undied itu menghilang dan muncul di belakang Ruka. Kedua tangannya mencengkeram setiap sisi kepala Ruka, bersiap memutarnya.

"PERGI!!!" kali ini yang Seyna dorong Undied tersebut. Dia hempaskan sampai menghantam dinding lalu Seyna cekik sekuat tenaga.

Kedua tangan Undied mencengkeram lengan Seyna, gadis itu tidak merasakan panas yang seolah hendak membakar lengannya. Yang dia prioritaskan, adalah keselamatan satu-satunya teman bicara yang dia punya.

"MATI-MATI-MATI!!!" disaat cengkeraman Seyna menguat, tangan itu terus dia guncang agar Undied di depannya lenyap. Ruka tampak kebingungan tidak mengerti kenapa Seyna bicara sendiri? Seolah sedang mencekik seseorang tak kasat mata saja. "MATI!!!"

bugh!

Seyna terlempar sampai menghantam dinding. Undied itu menyeringai kembali mendekati Ruka.

Keras kepala.

Hilang akal, Seyna memukul kaca jendela sekuat tenaga, darah mengalir dari tangannya yang terluka. Tidak pikir dua kali, sebelum Undied itu sempat memutar kepala Ruka, Seyna berlari kemudian menamparnya.

Di detik yang sama tangan berlumur darah mengenainya, disaat itu juga Undied menghilang menjadi kepulan asap.

Seyna terengah-engah. Wajahnya pucat pasi.

Telinga Seyna berdengung saat mendengar teriakan nyaring kemudian tanah yang dipijaknya gempa sesaat.

Dia melakukannya.

Seyna tertawa gila. Padahal sudah berusaha tidak ikut campur selama bertahun-tahun, tidak mau terlibat dengan sesuatu yang mengerikan, tapi dalam satu hari, semua usahanya sia-sia.

Hanya untuk satu orang yang belum lama dikenalinya.

"Sey, tangan kamu-" Ruka terkejut. Telapak tangan kanan Seyna berubah hitam. Darah terus mengucur mengotori lantai. Dan sebelum Seyna menjawab, dia terjatuh lunglai.

Seluruh tenaganya terkuras.

Kepalanya sakit saat bisikan tidak asing itu kembali berkumandang.

Permainan dimulai.

***

"Seyna!" pintu dibuka nyaris dobrak. Seyna menoleh, menatap orangtuanya yang tampak panik. Mereka masuk ke ruang rawatnya kemudian menatap Seyna khawatir, "Mama kaget denger kamu pingsan di sekolah. Kamu sakit, Nak?"

"Pergi." Seyna mengusir. Tidak menyambut hangat kehadiran sosok yang dibuat khawatir. Wajah Seyna menunjukkan raut dingin. Bersikap seolah mereka bukan keluarga saja.

Orangtua Seyna tampak kian tidak mengerti. Gadis kembali berkata, "pergi sejauh mungkin. Ke luar Negeri, jangan pulang-pulang lagi."

"Sey-"

"Kalo terus di sini kalian bakalan mati!" Seyna setengah berteriak. Membuat ibunya bungkam, sementara ayahnya duduk di sisi ranjang, "kalian bakalan mati. Pergi!"

"Seyna."

"Aku gak bermaksud ikut campur!" airmata Seyna meleleh. Napasnya terengah, manik cokelat itu terlihat gelap tenggelam dalam rasa bersalah, "aku juga gak mau peduli kalau aja bukan dia yang nyaris mati."

Reina berkedip, hendak menyentuh Seyna tapi tangan itu ditepis kasar.

"Aku muak denger pikiran orang-orang, tapi dia satu-satunya yang gak bisa aku baca. Ngerasa normal. Kalau sama dia aku ngerasa jadi manusia biasa." Seyna meringkih pedih.

Dia selalu merasa sepi. Menjadi satu-satunya yang berbeda. Seolah semua yang ingin dia genggam selalu hilang karena kemampuan mengerikannya.

Seyna ingin bicara dengan banyak orang. Dia juga berharap bisa dikelilingi banyak teman. Namun ketika mereka bicara buruk di dalam hati tentang seorang Seyna Kurogami, hatinya tidak sanggup bersikap seolah dia tidak terusik sama sekali.

Ruka berbeda dengan mereka. Walau menyebalkan dan gampang dirasuki, tapi dengan Ruka Seyna bisa berbagi cerita.

Seyna tidak perlu khawatir kalau Ruka berpikiran buruk tentangnya. Hal itu lumrah, asal Seyna tidak perlu mendengarnya saja.

"Undied itu nyaris bunuh dia. Aku bunuh Undied dewasa. Mereka pasti marah. Mama sama Papa bakalan mati. Semuanya salah aku. Karena aku ikut campur urusan orang lain."

"Seyna."

Gadis itu tercekat saat sang Papa tiba-tiba memeluknya, "Akhirnya kamu bisa punya temen, ya? Gak pa-pa. Kamu harus ngenalin dia ke Mama-Papa."

"Kenapa Papa gak marah?" Seyna tidak paham. "gara-gara aku kalian bisa mati."

"Seyna itu selalu mikirin hal yang gak perlu, ya?" Reina terkekeh. Dia menyentuh pipi kanan puterinya, "imut banget."

"Kalian itu-"

"Hidup dan mati seseorang itu udah takdir, Seyna." Papanya memotong, "itu rahasia Tuhan. Kebetulan aja, Seyna dikasih kemampuan buat lihat itu semua. Kalau memang udah waktunya kita mati, ya kita pasti mati. Gak ada hubungannya dengan Seyna yang nolong orang lain atau enggak."

Kata-kata Gunawan membuat Seyna terbungkam.

Orangtuanya justru selama ini khawatir. Berkat segala kemampuan Seyna, dia jadi menutup diri. Seyna juga seringkali melakukan hal yang tidak perlu. Sesuatu yang justru membuat mereka khawatir.

Seperti pergi ke gunung sendiri, demi menemukan jimat agar orangtuanya tidak menjadi sasaran Undied.

Bukan Reina dan Gunawan tidak takut menghadapi kematian. Tapi itu memang sesuatu yang menjadi urusan Tuhan. Walau Undied tidak membunuh mereka, jika sudah waktunya mereka tetap akan mati entah karena sakit atau pun kecelakaan.

"Seyna itu berhargaaaa banget buat Mama sama Papa." Reina tersenyum kecil, menarik tubuh sang puteri ke dalam dekapan, "sesekali, pasti Mama sama Papa bikin Seyna marah atau kecewa. Gitu juga sebaliknya. Tapi apapun alasannya kita itu keluarga. Gak ada hal yang bisa mutusin ikatan kita bertiga. Seyna harus lebih percaya diri. Jangan lagi terus-terusan bimbang karena terlalu mikirin kami."

Seyna menangis meraung. Dalam pelukan hangat orangtuanya, dia menumpahkan setiap gelisah yang selama ini menguasainya. Mengungkap lelah yang terus saja dia pendam di dalam benak.

Seyna manusia.

Dia benar-benar manusia.

Tapi semua kemampuan yang dia punya, membuat dia hilang rasa percaya diri. Menimbulkan pertanyaan di dalam hati.

Benarkah... Seyna itu manusia?

Seyna meluruskan pandangan. Melihat anak laki-laki yang usianya dia perkirakan baru sembilan tahun. Memeluk bola basket dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menutup sebelah wajah.

Anak yang familiar.

Namun Seyna tidak bisa mengingat dia siapa?

Manusia? Roh? Undied?

Seyna tidak bisa memperkirakan. Tidak ada aura yang biasanya terlihat menguar.

"Seyna~" anak itu memanggil. Tersenyum lebar dan ketika dia menurunkan tangan kirinya, Seyna yakin sosok di depannya bukan manusia karena sebagian wajah itu hancur dengan darah mengucur, "main lagi, yuk."

***

Cerita ini cuma fiksi. Semuanya fantasi saya sendiri. Jadi gak perlu dipertanyakan benar enggaknya. Wkwkwk

SSSST!!! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang