delapan

222 25 4
                                    

*Wine

"Hah, Hah..." Aku berhenti didepan sebuah kursi. Kemudian aku duduk dikursi itu.

"Bagaimana ini? Aku nggak bisa biarin Alexandra melakukan ini lagi! Aku nggak bisa tinggal diam melihat orang mati dihadapanku, lagi!" Aku menutup wajahku, menangis, berfikir betapa pengecutnya aku. Aku benar-benar bodoh. Aku membiarkan orang mati dihadapanku, aku membiarkan pembunuhnya lolos.

"Aghh!" Aku mengacak rambutku kesal. Bagaimana sekarang?

"Huftt..." Aku mengatur napas, mencoba tenang sedikit,
"Oke, hubungi dulu Zalfa." Lanjutku, aku mengambil ponselku dari dalam saku celana, kemudian mencoba menghubungi Zalfa.

Sambungan sudah terhubung, nggak lama setelah itu, Zalfa mengangkatnya,

"Halo? Wine" Ucap Zalfa dari telpon

"Iya,ini aku Wine. Huh.."

"Kenapa? Ada masalah? Gua bisa bantu nggak nih, gua lagi nganggur."

"Sekarang kamu bisa dateng nggak? Ke taman,"

"Sekarang? Taman? Taman dekat mana?"

"Hm, iya, taman yg arah ke sekolah kita, ah Taman Glida,"

"Oh oke, otw, tunggu aja disana!"

Zalfa memutuskan sambungan telpon. Huh, aku bisa. Aku harus berubah. Aku nggak bisa biarin gadis psycho itu lolos lagi.

Ayo Winee, kamu bukan pengecut lagi!

-

15 menit kemudian.

"Winee!" Aku berbalik, melihat siapa yg memanggilku.

"Zalfa! Sini!" Aku melambaikan tangan ke arahnya. Zalfa sampai di hadapanku, napasnya seperti ter-engah-engah.

"Kenapa?" Tanyaku, Zalfa duduk disampingku.

"Capek, nyariin lo kemana-mana, taunya disini!" Zalfa menyadarkan tubuhnya keebelakang.
"Jadi? Kenapa nyuruh gua ke sini?" Lanjutnya sambil memalingkan wajahnya menatapku serius.

"Aku nggak bisa diam terus. Lagi, aku melihatnya, Alexandra...." Aku mengatur napas,
"Dia... Aku melihatnya membunuh, lagi." Lanjutku.

"Hah!" Zalfa terkejut,
"Hahaha, bercanda terus si lo!" Zalfa tertawa hambar,

"Aku nggak bercanda ,Zalfaa!" Aku menatapnya tajam, ia menghentikan tawanya,
"Kamu telpon polisi sekarang! Biar aku yg urus selanjutnya!" Lanjutku.

"Memang lo punya bukti apa? Dia temen gua dari lama, gua lebih tau Alex dari pada lo! Lo nggak bisa dong asal tuduh dia!" Ucap Zalfa sewot. Aku tau, dia pasti nggak akan percaya. Benar, aku memang nggak punya bukti apapun. Aku tau itu.

"Aku memang nggak punya bukti. Satu pun. Tapi aku punya mata dan ingatanku! Tolong, setelah itu, serahkan semuanya kepadaku!" Aku berdiri, menatapnya tajam.

"Baik. Tapi, setelah itu, lo harus tanggung jawab kalau lo salah. Gua juga harus kasih tau Ratu, gua nggak bisa rahasiain in lagi dari Ratu! Dia juga sahabat gua." Ucap zalfa, panjang lebar. Selebar cintaku padamu ,eh. Nggak, bercanda..

-

"Oke, jadi ini pak, yg mau ngelapor soal pembunuhan akhir-akhir ini. Pembunuhan temanku," Zalfa menunjuk-ku yg berdiri dibelakangnya.

"Jadi anda mau melapor tentang apa?" Tanya polisi itu kepadaku, dia terlihat santai, tapi suara-nya sangat tegas.

Sementara aku bercerita tentang apa yg aku lihat tentang Alexandra, Zalfa juga menceritakan apa yg aku lihat kepada Ratu.

"Sumpah gua nggak percaya!" Ucap Ratu sambil menggelengkan kepalanya pelan
"Lo percaya gitu sama murid yg baru lo kenal?" Lanjutnya sambil melirikku tajam.

"Gua? Gua sih nggak percaya, tapi itu anak ngotot banget kalau dia nggak salah liat. Mana mungkin Alex kayak gitu!" Jawab Zalfa.

Ah, aku benar-benar bodoh. Menceritakan itu semua kepada Zalfa. Dia bahkan nggak percaya sedikitpun.

"Baiklah, jadi apa yg akan kau lakukan setelah ini?" Polisi itu melipat tangannya didepan dada.

"Aku ingin anda menangkapnya!" Ucapku yakin.
"Dia bisa menyerang kapanpun, dia punya senjata dimanapun, kita harus membuatnya tidak sadarkan diri." Lanjutku, aku menatap seseorang yg keluar dari sebuah Bar dipinggir jalan.

"Sekarang!" Aku melirik polisi itu kemudian memberikan isyarat bahwa 'dia' adalah orang yg berada disana.

-

Ah, mungkin cara ini yg terbaik.
Sekarang kami sedang menuju kantor polisi, polisi seakan nggak percaya melihat apa yg dibuang Alexandra ke tempat sampah. Ibu jari. Jari seseorang.

Ah, iya, mereka juga suka mengoptosi mayat, gadis itu. Gadis di gang itu.
Kami terkejut, jari ditangan kanan gadis itu nggak ada. Dan polisi menemukan potongan jari saku hoddie milik Alexandra, setelah di cocokan,ternyata, itu, potongan jari itu cocok dengan gadis itu.

Apa ini akan menjadi akhir gadis psycho itu? Kuharap begitu. Semoga semua akan berakhir semestinya. Dan aku. Ku harap, akan berubah, agak nggak menjadi pengecut dan membuat nyawa orang lain melayang.

-

Maafkan atas kesalahan penulisan kata🙇

Ini Chapter paling pendek lho😝

Hayo, endingnya bakal gimana nih? Apa Alexa bakal di Penjara atau malah dihukum Mati?Eh, Bisa jadi di mau berubah juga ya, wkwk..

Bisa jadi, 3 Chapter lagi selesai lho, hehe.

Mari tinggalkan jejak teman!❤

I'm (not) a Psychopath [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang