sembilan

226 25 9
                                    

Aku memilih untuk pergi bermain bersama teman-temanku ke sebuah kola renang yg baru dibuka akhir-akhir ini, dari pada pergi bersama keluargaku kepemakaman Nenek dan Kakek-ku untuk sekedar Ziarah bersama.

Hari ini aku benar-benar nggak berfikir dua kali, aku benar-benar memaksa agar nggak ikut dengan mereka, Ayah, Mama, Kakak, dan Adik-ku.

Aku nggak tau kalau aku akan menyesali ini, saat itu aku masih berumur 12 tahun.
Aku memang bodoh. Memilih menghamburkan uang untuk kesenanganku sendiri! Katakanlah aku EGOIS. Lebih baik aku membeli sebuah bunga untuk makam Kakek dan Nenek-ku.

Mereka pergi sekitar pukul empat petang. Dan aku pergi bersama temanku sejak pukul sebelas siang hingga pukul lima petang.

Kamu mungkin akan menangis histeris ketika pulang dan melihat sebuah bendera kuning berkibar didepan rumah.

Tapi aku, aku justru diam dan menatap bendera itu datar. Lalu aku masuk.
Suara tangis memenuhi ruangan. Saat itu juga aku langsung mengerti, mereka sudah pergi.

Melihat mereka terbaring dibalik kain kafan membuatku semakin yakin kalau mereka sudah pergi.

Aku menatapnya datar. Semua pasang mata melihat kearahku yg berdiri didepan pintu. Seketika mereka diam. Aku menahan air mataku agar nggak menangis. Tapi percuma air mataku menetes membasahi pipiku.

"Hahaha..."

Aku justru tertawa hambar, menganggap ini semua tipuan, tapi nggak. Ulang tahunku masih lama.

Aku melangkah, duduk didepan mereka yg terbaring tak berdaya. Seketika tangisku meledak. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku.

Pelukan hangat langsung memenuhi tubuhku. Aku harus apa? Pelukan ini nggak nyata. Ini nggak bisa menggangtikan pelukan mereka.

Apa aku nggak punya kerabat lain, kecuali keluarga? Nggak.

Aku hanya punya Ayah,
Mama,
Kakak,
Dan Adik-ku.

Kini mereka sudah pergi. Seharusnya aku ikut dengan mereka. Seharusnya aku sudah Mati dengan mereka sekarang. Sudah pergi berpindah alam.

-

Pemakaman mereka, sudah berlalu. Semua sudah pergi, kini tinggal aku sendiri, duduk dihadapan makam mereka. Meratapi semua ini, aku sungguh bodoh.

Bodoh!
Bodoh!
Bodoh!

Langit terlihat kelam. Hujan mulai turun, membasahi pakaian hitamku.

-

Aku pulang dengan basah kuyup. Menutup pintu secara paksa, membuat suaranya menggema keseluruh rumah. Aku terjatuh, bersandar dibalik pintu. Menangis.

Aku memperhatikan seluruh penjuru rumah. Melihat sebuah bingkai foto besar, berisi foto keluargaku.

Ayah, Mama, Kakak, Aku, dan Adikku.

Kami tersenyum bahagia. Andai waktu bisa kembali terulang. Aku pasti ikut dengan mereka dan mati bersama.

Lalu aku berpikir, bahwa ini semua nggak adil. Tuhan, kenapa kau mengambil nyawa mereka. Apa salah mereka?
Kenapa kau nggak mengambil nyawaku saja! Kenapa!

Aku tau, diluar sana pasti ada yg lebih sengsara dari aku. Tapi aku juga tau, diluar sana pasti lebih banyak yg bahagia dari aku.

Mereka pasti bahagia bersama dengan keluarga, teman, sahabat, dan kerabat mereka!

Lalu kenapa aku nggak! Aku selalu saja merasa nggak adil. Didunia ini, aku sendiri, nggak ada siapapun!

Lalu bagaimana kalau aku mati?
Aku tau! Aku akan lebih sengsara disana, mereka akan bahagia bersama di Surga.
Lalu aku? Aku akan sendiri sengsara di Neraka!

Benarkan!

-

Hahaha...

Bagaimana kalau mereka yg bahagia dan merasa adil mati saja?!
Pasti menyenangkan.

Bagaimana kalau aku membantu malaikat maut mencabut nyawa mereka?!
Pasti dia akan berterima kasih padaku.

Bagaimana kalau mereka yg mengganggu hidupku, aku bunuh saja?!
Pasti seru.

Bagaimana kalau aku yg membuat mereka mati saja?!
Pasti aku akan merasa adil kembali.

Aku egois?
Kalau kalian sudah tau jawabannya, tak perlu ku jawab lagikan!

Kalian nggak mau mati?
Kalau begitu, jangan menghalangiku!

Aku akan menjadi Psikopat?
Maaf. Aku bukan orang sakit jiwa!

-

Sejak hari itu. Hari dimana aku menyadari bahwa Tuhan nggak adil denganku.
Aku mulai membunuh.

Memangsa bagaikan elang yg sedang kelaparan.

Aku mulai menyukai bau darah yg menetes dari tubuh seseorang.
Baunya yg harum dan menyegarkan membuatku selalu ingin membunuh orang yg menggangguku.

Aku ingin sekali melihat mereka menderita, meraung-raung kesakitan, berteriak histeris meminta pertolongan, memohon-mohon padaku agar dilepaskan, dan M A T I !

Hahaha...

Itu akan mengasik 'kan.
Sebenarnya aku sendiri benci kehidupan, tapi mau bagaimana, nggak ada yg membantu malaikat maut lagi untuk membunuhku.

-

Aku pindah. Pergi meninggal 'kan rumah lamaku yg penuh kenangan manis bersama keluarga. Meninggal 'kan seluruh barang yg akan mengingatkanku pada mereka.

Pemakaman mereka-pun aku minta untuk dipindahkan. Kenapa? Ntahlah, itu nggak perlu dipikirkan.

Disini, aku kembali membunuh. Aku memang mendapatkan teman. Toh, sebenarnya aku nggak perlu teman.

Salah satu dari mereka membuatku kesal. Ku bunuh dia. Sama seperti aku membunuh seorang laki-laki dulu, dan ternyata mereka bersaudara.

Aku kembali membunuh. Temanku lagi.
Lalu bertemu musuh lamaku dan membunuhnya.

Aku berteman dengan seorang laki-laki, dia bilang, bahwa dia dulu seorang psikopat. Aku nggak tau sih yg sebenarnya.

Adrian. Itu adalah namanya. Dia selalu saja mengajakku untuk berubah. Sama sepertinya. Tapi aku menolak.

Ntah kenapa aku nggak bisa membunuhnya. Dia juga pernah membantuku dalam membunuh orang.

Seorang gadis. Gadis yg ingin ku bunuh. Dia yg selalu mendapat kebetuntungan hebat. Aku menerornya.

Tapi dia....
Dia justru membuatku dalam masalah.

-

Aku cinta kematian.

Aku benci kehidupan.

Aku ingin mati saja.

Ingin sekali mati sekarang.

Bagaimana tidak.

Gadis itu sudah membawaku dalam masalah besar.

Aku tau.

Nyawa harus dibayar dengan nyawa!

*

Maafkan atas kesalahan penulisan kata!

Pendek bangetnya buat chapter akhir-akhir ini? Nggak tau juga sih kenapa bisa pendek terus. Hehe..

I'm (not) a Psychopath [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang