sebelas

271 30 11
                                    

*Alexandra

Aku terbangun. Mendapati sebuah ruangan putih dan diriku yg terbaring di atas ranjang.

Dimana ini? Rumah sakit!

Aku melihat seseorang membuka pintu ruangan.
"Akhirnya kau sadar juga!" Laki-laki berseragam polisi itu menatapku sinis.

"Pukul sebelas siang. Waktumu enam jam lagi! Apa kau ingin menemui seseorang sebelum mati?" Tanya sinis. Wajahnya sangat tegas, membuatku ingin membu...
Lupakan!

"Agh!" Aku memegangi kepalaku yg sakit. Kemudian duduk di tepi ranjang.
"Makam! Makam keluargaku!" Lanjutku kemudian berdiri untuk mendekatinya yg berdiri di ambang pintu.

"Oh, tidak masalah!" Ucapnya sambil melangkah mendekatiku dan menggenggam erat tanganku seperti tahanan. Aku memang tahanan.

Aku keluar, melihat Adrian, Zalfa, Ratu, Wine, dan Ibu-nya Elisha.

"Hai, aku sudah menduga kamu yg membunuh anak-ku. Hahaha.. Aku sedikit merasa lega karena kamu akan mendapat bayaran yg setimpal!" Ucap Ibu Elisha. Dia mengacak rambutku kemudian pergi.

"Kami hanya ingin mengikuti acara hukum mati lo aja!" Ratu yg berada ditengah-tengah Zalfa dan Wine, merangkul mereka.

"Gua nggak mau lu mati Al!" Adrian menatapku sedih.

"Permintaanmu akan terwujud, mungkin!" Aku berbisik pelan,yg mungkin hanya bisa didengar olehku.

-

Polisi pergi ke pemakaman umum. Kemudian empat orang polisi mengekoriku sampai makam keluargaku.

Kami sampai di makam keluargaku. Zalfa, Ratu, dan Wine bahkan ikut. Begitu juga Adrian.

"Biarkan dia sebentar!" Ucap salah sekeorang polisi disampingku.

Aku melangkah pelan ke arah makam ayahku. Menjatuhkan diriku disamping batu nisannya.

Kalian pasti nggak akan percaya dengan apa yg aku lakukan. Tanganku meronggah kebalik batu nisan ayahku. Mengambil sesuatu dari balik sana. Berharap benda itu masih berada disana.

Aku sudah menggenggam benda itu erat.
Apa kalian pikir aku menggenggam sebuah pisau? Cutter? Golok? Kampak? Atau benda tajam lainnya? Salah.

Aku berdiri. Menyembunyikan tanganku di balik tubuh. Kemudian melangkah pelan ke arah mereka.

"Aku ingin kalian berdoa untuk keluargaku! Aku mohon!" Aku menunduk.

Tanpa pikir panjang mereka menunduk. Menutup mata mereka untuk berdoa. Nggak berfikir bahwa aku akan kabur.
Aku mengangat kedepan tanganku yg ku sembunyikan dibalik tubuh.

Duar! Untuk pertama
Duar! Kedua
Duar! Ketiga

Suara tembakan membuat burung yg sedang singgah di ranting pohon berterbangan.

Nggak ada kesempatan untuk melawan. Tiga orang polisi mati dengan luka tembak di dada.

"Ha ha ha... " Aku tertawa hambar.

Adrian menatapku yg masih menodongkan sebuah tembakan ke arah satu polisi yg masih hidup.

Bagaimana benda itu ada di sana?
Aku tetap aku! Aku bisa melakukan apapun! Bahkan disaat serumit apapun!

"Alexandra! Lu!... " Adrian terjatuh. Menatapku kecewa.

Aku menjatuhkan tanganku. Kemudian menatapnya dingin.
"Kamu bilang. Kamu nggak mau aku mati!" Aku tersenyum kecil.

"Jadi kalian mau melawan? Pak, kau bisa membunuhku. Ambil senjatamu!" Aku menatap seorang polisi yg masih hidup.

Polisi itu meronggah sakunya, mengambil sebuah pistol.
"Jatuhkan senjatamu!" Ucapnya.

"Ini?" Tanyaku sambil mengarahkan tembakan ke arah polisi itu.

Aku nggak menjatuhkannya dan marah menarik pistol itu bersamaan dengan polisi itu.

Duar!

Suara tembakan 'ku bersamaan dengan milik polisi itu terdengar lebih keras.

"Aghh!" Polisi itu terjatuh. Luka tembak di jantungnya membuatnya... Mati.

Aku terjatuh. Polisi itu berhasil menanjapkan peluru di lengan kananku.
Aku menatap Zalfa geram.

"Kau! Aku benci kau!" Aku menarik pistol itu.

Duar!

Zalfa terjatuh. Darah memenuhi celana putihnya. Dan... Mati.

Kali ini aku menatap Ratu. Dia yg selama ini mengerti diriku ternyata salah. Dia sama seperti yg lain. Palsu.
"Hai! Ratu. Aku sepertinya, mulai membencimu sekarang!"

"Alex, berhenti! Yg lo lakuin kelewatan batas!"

Duar!

Ratu terjatuh. Perlahan tapi pasti. Dia.... Mati.

Aku mencoba berdiri. Melangkah ke arah Wine. Kemudian menodong 'kan pistol ke kepalanya
"Kamu memang anak polos! Tapi sayang, kamu juga harus mati karena membuatku dalam masalah!"

"Maksud kamu apa? Kamu udah melewati batas. Berhenti! Kamu bisa membunuh semua orang!" Ucap Wine sambil menatapku takut.

Duar!

Tanpa pikir panjang aku langsung membunuhnya tepat di kepalanya.
Ia terjatuh. Dan.... Mati.

"Kamu mau ikut dengan mereka? Lebih baik kamu pergi sekarang dan katakan pada polisi yg lain untuk menangkapku!" Aku melangkah ke arahnya. Menyentuhkan lututku ke tanah, dan menjatuhkan pistol itu disampingku.

Adrian diam.

Aku mengangkat wajahnya,
"Aku pikir kamu benar-benar menyayangiku,"

"Gua sayang sama lu! Gua pikir lu udah berubah! Tapi salah. Ini semua salah. Lu udah kelewatan!" Adrian berdiri, menarik tanganku agar aku ikut berdiri.

Adrian mengambil pistol di samping kaki 'ku,
"Ini! Permintaan gua masih dua!"

"Gua mau lu mati!" Adrian meletakan pistol itu ditangan 'ku.
"Dan mayat lu! Harus gua simpen. Nggak boleh ada yg ngambil lu dari gua! Nggak ada! Gua sayang sama lu!" Lanjutnya,

Aku terkejut, mendengar permintaan terakhir dari Adrian. Tapi, bagiku hidup sekarang udah nggak berguna. Lebih baik aku pergi. Terserah apa maunya!

Tugas 'ku sudah selesai. Menyambut akhirat adalah misi selanjutnya bagiku. Jadi, untuk menyambut akhirat. Aku harus mati 'kan?!

Aku mengangkat tanganku, mengarahkan pistol itu tepat dikepalaku. Aku tersenyum,
"Sampai jumpa dunia!"

Duar!

-

Oke sipp!
Cerita ini udah selesai...
Ada 1 chapter lagi deng,

Terima kasih buat temen-temen gue yg rela namanya dipakai dalam cerita tapi mati:'...

I'm (not) a Psychopath [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang