My Parents being crazy, I'm too

509 43 236
                                    

Oh, Hello!

Menjadi pelajar tingkat akhir sangat mengerikan. Serius, dengan ujian yang semakin dekat ditambah dengan pergantian kurikulum, menjadikan kamiㅡpara pondasi bangsa ini, menjadi zombie. Kadang kami bertanya-tanya, apa salah kami sehingga harus menjadi korban dalam intrik politik yang kotor ini. Kurikulum bukan seperti seragam yang bebas diganti kapan saja ! Bagaimana kalau kami semua tidak lulus ?
Aku ragu kalau pihak sekolah dapat melawan peraturan baru itu. Ingin protes ? Tak akan bisa. Jadi, beginilah akhirnyaㅡ dengan penampilan seperti orang yang terinfeksiㅡ kami belajar setiap hari tanpa henti.

Siapa itu ? Siapa yang mengatakan aku berlebihan ? Hei, aku ini berbicara fakta. Dengan berbagai beban yang menimpa (yang mana harus mempelajari pelajaran untuk tiga tahun dalam kurun waktu 8 bulan saja), proyek akhir sekolah dan ujian praktek serta tekanan mental yang didapat membuat kami depresi tingkat tinggi. Biasanya kami berseragam rapi, tapi kini tak perlu repot-repot berdandan lagi. Percuma! Rambut dan seragam kusut, wajah tampan menjadi monster dan wajah imut nan cantik akan seperti nenek sihir. Dan sekolah akan dipenuhi zombie berseragam.

Seperti pagi ini, temanku yang bercita-cita menjadi model dan kebetulan pernah menjadi model untuk iklan sabun mandi, berjalan ke arahku dengan pandangan kosong dan make-up wajah yang luntur.

"Apa kamu baru saja menerjang badai ?" tanyaku begitu dia menghempaskan tubuhnya disampingku.

"Aku tadi tidur jam lima pagi..." ekspresi hampir menangis muncul di wajahnya. Aku mengangguk simpati. Yeah, aku juga mengalaminya kok, siapa sih yang tak terteror dengan keadaan ini?

"Apa wajahku mengerikan ?" Dia menatapku putus asa.

"Eh ? Tidak, kamu cantik. Hapus saja make-upmu, agar terlihat fresh."

Dia mengeluarkan kaca dari ranselnya lalu memandang wajahnya dengan shock dan berlari keluar kelas, menabrak siswi lain yang baru saja datang dengan wajah yang tak jauh berbeda dengannya, mengerikan.

Kelas mulai penuh seiring berjalannya waktu yang terasa seabad bagiku. Sayup-sayup suara obrolan mereka menemani detakan sang waktu. Aku menelungkupkan wajahku, menunggu guru matematika datang. Aku tak begitu punya banyak teman disini. Hanya teman cantikku tadi, Hana danㅡ

"Hei!"

Demi waktu! Aku tersentak. Ku cari siapa orang gila yang suaranya menggelegar bagai halilintar dan menghancurkan tidur berkelasku.

"Kenapa aku mendapat nilai 98 ?! Bukankah aku menjawab semua dengan benar ?!" dia bertanya sambil memelototi kami.

"Wah, tak bisa dibiarkan ! Harus bertanya. Apa ada yang tahu dimana guru matematika kita ?" tuntutnya.

Tak ada yang menghiraukannya, hampir setiap pagi dia selalu berteriak histeris tentang nilainya.

Tak perlu mencari tahu, sebenarnya. Siapa lagi kalau bukan Danny Choi, sahabatku. Rasanya aku tak perlu mendeskripsikanya, semua sudah tahu kan siapa dia ?

Tidak ? Kalian tidak tahu ? Apa ? Ceritakan tentang Danny ? Hei ! Disini itu aku yang bercerita, mana boleh request begitu. Lagipula, aku malas membicarakan Dany.

Oke-oke, begini, Danny itu blesteran Korea-China, tinggi, punya dua mata dan ehㅡ tampan (jangan katakan padanya, oke ?). Dia selalu peringkat kelas sejak Sekolah Dasar (aku benci mengatakannya), Kepintaran serta IQ-nya di atas rata-rata. Dia adalah si Mr. Perfect, sedikit kesalahan akan membuatnya mengomel panjang-lebar. Sebenarnya dia pendiam, tapi kalau ada hal yang menurutnya tidak benar, bersiaplah akan mendengar pidato terspektakuler sepanjang masa.

Marry ?  Are You Kidding ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang