Broken Piece

71 7 6
                                    

Begitu membuka pintu, aku langsung memukul dadanya. "Kalau kamu mengancamku sekali lagi, aku akan membuat hari-harimu tak akan pernah damai sampai akhir hidupmu!"

"Baguslah," Dia mengangkat bahu. "Ayo turun ke bawah. Aku sudah memesan taksi. Kita sarapan di pesawat saja."

"Aku tidak mau diperintah."

"Aku sedang memberitahu, bukan memerintah."

"Tapi nada yang kamu gunakan seperti itu! Ah, sudahlah!" Aku berjalan mendahuluinya dan dia mengikuti sambil menyeret kopernya.

"Berikan itu padaku." Dia mengambil paper bag dari tanganku. "Aku akan mengatakan beberapa hal padamu. Pertama, aku berjanji akan terus berusaha membatalkan keinginan orangtuamu dan orangtuaku. Kedua, kamu bisa membenciku sebanyak yang kamu mau, tapi harus kamu ingat, kita sedang bekerja sama, jadi aku minta padamu untuk mengesampingkan rasa benci itu ketika bersamaku, tunjukkan rasa itu ketika kita sedang bersama mereka. Ketiga, cobalah untuk bersikap lebih bersahabat, aku juga korban disini." Setelah itu dia tak mengatakan apapun lagi. Dan aku merasa dia sedang menunggu jawaban dariku.

"Baik!" Aku menahan lengannya dan dia berhenti melangkah. "Baiklah ! Maaf karena bertingkah kekanakan dan tidak menghargaimu. Lalu, terima kasih atas segala hal yang kamu lakukan. Puas ?"

"Tidak juga, aku merasa kamu terpaksa."

"Mau bagaimana lagi? Setiap kali melihatmu, aku merasa ingin marah karena mengingat peristiwa yang menghancurkan hatiku."

"Dan bukankah aku berjanji tidak akan menikahimu ?"

"Apanya !? Kamu bahkan mengancam akan menikahiku tadi malam !"

Dia tersenyum kecil. "Aku tak punya pilihan. Jika memang efektif, aku akan menggunakannya untuk membuatmu tenang."

"Tenang apanya ? Itu namanya membuatku melakukan segala hal diluar kehendakku ! Itu pelanggaran Hak Azasi Manusia !"

"Benar, kamu bisa melaporkan diriku saat kita sampai di Korea. Tapi untuk sekarang," Dia meraih tanganku. "Kita harus cepat sampai di Bandara."

Aku tak punya keinginan untuk protes. Aku yakin dia akan mengancamku lagi, jadi aku hanya mengikutinya. Ketika sampai di lift, dia melepas tanganku untuk menekan tombol karena tangannya yang satu sibuk dengan koper, setelah itu dia menggenggam tanganku lagi. Aku ingin menepis tangannya tapi tidak jadi karena dia memasukkan tanganku beserta tangannya ke dalam saku mantelnya dan berkata, "Kamu pasti merasa kedinginan. Seharusnya aku membelikan baju hangat untukmu."

Lihat ? Bagaimana aku bisa marah ? Terkadang, jika kupikirkan lagi, dia memang baik. Aku menyesali sikap bermusuhan yang selalu aku lontarkan padanya. Tapi sungguh, aku memang selalu merasa sakit hati saat melihatnya. Mungkin jika aku tidak dijodohkan dengannya, aku akan menganggapnya sebagai kakakku.

Lift bergerak turun dan aku merasa kecanggungan merayapi kami. Walau aku merasa ingin menarik tanganku, tapi harus kuakui ; aku merasa nyaman.

Ketika terdengar bunyi dentingan dan pintu membuka, kami berjalan beriringan dalam diam. Tanganku masih berada di sakunya, aku merasa hangat walaupun sedikit gugup dan wajahku memanas. Pasti karena aku akan naik pesawat sendirian, pikirku. Lobby hotel ini terlihat lenggang, bahkan hanya ada beberapa orang yang mengantri di meja resepsionis. Rasanya tak ada yang salah dengan hal itu, tentu saja. Siapa memangnya yang akan keluar dari kamar jam 7 pagi ?

"Apakah kamu sudah menelepon ayah dan ibumu ?"

"Belum dan tidak berniat. Aku memutuskan untuk mengabaikan mereka."

"Apa strategi yang kamu gunakan ?"

"Membuat mereka merasa sangat bersalah. Mereka pasti tahu aku sangat kecewa, aku tak pernah mengabaikan mereka sebelumnya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Marry ?  Are You Kidding ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang