12. If(y)

765 52 4
                                    

__oOo__

Ify segera memasuki kamarnya setelah ia, Sivia dan mamanya sedikit bercengkrama basa-basi karena Sivia malam ini akan bermalam dirumahnya. Sivia yang mengekor dengan dua tas yang dibawanya, satu tas sekolah dan satu tas yang berisi baju gantinya, masih terdiam dan belum sama sekali membuka suara. Padahal, di dalam benaknya, sudah terdapat ribuan pertanyaan dan petuah untuk sahabat barunya tersebut.

Tentang keadaan dirinya, Ify sendiri tidak dapat memastikan dengan pasti. Apa yang ia rasa, apa yang akan ia lakukan, semua masih belum terpikirkan sedikitpun. Semua memang masih abu-abu untuknya. Dan semua terjadi begitu cepat. Tanpa ada jeda sedikit saja bagi Ify untuk memahami semuanya, pelan-pelan.

Sivia menaruh tasnya, dan kemudian membanting tubuhnya. Sementara Ify, mengambil baju ganti dan sesegera mungkin ke kamar mandi.

"Fy." Panggil Sivia saat Ify masih melihat-lihat tumpukan baju di lemari.

Ify menoleh, dan mengerutkan kening. Ia hanya menjawab Sivia dengan bahasa tubuh tidak mengeluarkan sepatah katapun.

"Kalau gue jadi lo, gue bakal cerita sama Rio, Fy. Tentang Shilla yang seenak udelnya ke lo." Ucap Sivia sambil menatap langit-langit kamar Ify.

Ify mengerutkan keningnya lagi. Kemudian tersenyum samar.

"Kalau gue jadi lo, sebelum gue bilang kayak yang lo bilang, gue bakal mikir apa hubungan antara gue sama Rio dulu. Udah, ah. Gue mandi dulu."

Sivia menatap Ify yang berjalan perlahan meninggalkan dirinya di kamar Ify sendirian. Ia menghela nafas berat.

Di satu sisi, ia tak trima dengan keadaan yang dihadapi Ify sekarang.

Di lain sisi, ia ingin berontak namun betul kata Ify. Ify sendiri untuk marah pun tak ada hak, apalagi dirinya.

Dan akhirnya, Sivia pun merebahkan tubuhnya diatas kasur Ify. Mungkin jika ia ingin membantu Ify sekarang, yang bisa ia lakukan ialah menghiburnya, atau nggak melupakan masalah yang ada, sejenak.

***

Rio yang awalnya masih terdiam membisu di depan rumah Sivia, akhirnya bangkit dan melangkah pergi.

Dengan mengendarai motornya, ia melaju kencang menembus hembusan angin. Dengan kecepatan diatas rata-rata, ia membelah jalanan malam itu.

Dan akhirnya ia menurunkan standart motornya melepas helmnya dan menekan bel yang terpasang pada tembok pagar depan suatu rumah.

"Eh mas Rio, masuk, mas." Ucap seseorang wanita paruh baya, ketika membukakan pintu pagar

Rio terlihat menarik bibirnya sedikit, dan mengangguk. Lalu, ia melangkahkan kakinya lebih dalam. Tak lama kemudian sesosok gadis menyambutnya dengan tawa riang yang menyuruhnya untuk segera duduk di ruang keluarga rumahnya.

"Habis darimana?"

Rio menoleh kemudian menarik bibirnya tipis membentuk sebuah senyuman kecil.

"Dari latihan langsung kesini." Jawab Rio seadanya.

"Kamu udah makan?" Sambung Rio menanyakan kepada sesosok sebelahnya.

Ia menggangguk dan membuat Rio mengangkat tangan untuk mengacak rambutnya.

"Udah belajar?" Tanya Rio lagi.

Ia mengangguk lagi.

"Aku ambilin minum dulu ya."

Dan kemudian Rio yang mengangguk kemudian ia kembali merasakan denyutan hatinya yang terasa nyeri. Pikirannya masih terlampau kalut, dan belum bisa menerka mengapa ini semua terjadi.

"Nih, minum dulu." Ucap Shilla yang tiba-tiba berada disampingnya.

"Ada cerita yang mau diceritakan?" Tanya Rio sambil tersenyum tipis, dengan harapan semoga tidak menambah masalah yang rumit dengan bermasalah dengan gadis dihadapannya sekarang. Kemudian, ia menyeruput cokelat hangat yang tengah di pegangnya.

"Umm.. Apa, ya. Akun FBku habis di add sama yang namanya yang namanya Alifya, temen sekelasmu?" ungkap Shilla sambil memandangi Rio.

Dan dalam posisi demikian, satu yang tidak disadari oleh Rio, senyum sangat tipis milik Shilla. Mendengar ucapan Shilla, Rio menghentikan kegiatan menikmati dalam hangatnya secangkir cokelat bikinan Shilla.

Shilla semakin mengangkat bibirnya tipis sesaat ia mengetahui bagaimana reaksi Rio yang berada dihadapannya. Namun, walaupun begitu dibalik kesinisan yang ditampakkan Shilla, terdapat keresahan yang mendalam yang berusaha untuk dicampakkannya, tapi gagal.

"Iya, teman sekelas." Jawab Rio seadanya, lalu meletakkan cangkirnya. "Kenapa?" lanjutnya, sambil memandang Shilla.

"Enggak. Kok cuma dia yang nge-add, kamu cerita ke dia tentang kita?" Tanya Shilla, menatap balik kedua manik mata tajam milik Rio, kemudian menelusurinya digaris-garis rahang Rio yang teramat tegas.

Rio terdiam. Lidahnya keluh, otaknya tidak sanggup berpikir lagi untuk menjawabnya.

'Drrrt.... Drrrt'

Ponsel yang berada disaku Rio membuyarkan segara kebuntuan yang dihadapi Rio. Dewi Fortuna kali ini berpihak padanya setelah beberapa saat yang lalu tidak menyapanya sama sekali.

"Bentar ya, telfon dari mama." Pamit Rio setelah melihat layar ponsel dan berlalu meninggalkan ruang tamu rumah Shilla.

***

Ayunda, mama Rio sudah menempelkan ponselnya di telinganya. Air mukanya sudah berubah semenjak ia mengetahui bahwa tidak ada keberadaan Rio seperti perjanjian awal yang telah disepakati.

"Kamu dimana?" tanyanya tegas.

"........"

"Kamu dimana?" tanyanya lagi dengan nada yang sudah lebih tegas lagi.

"........"

"Jemput mama, segera tinggalkan rumah itu."

Ayunda menutup ponselnya dengan kesal. Lalu, dia memasukkan ponselnya kedalam tas dan melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.

__oOo__


hallooooooo semua HEHEHEHEH

masih ada yang inget nggak ya sama cerita ini. maaafin yaaa baru sempet karena beberapa hal yang menghalangi 😔

semoga pada suka yaahhh!!!

insyallah habis ini tidak ngaret lagi.

selamat membacaaaaa💕💕💓💓

THE FIRSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang