Prolog

174 21 11
                                    

Kala itu, kegelapan menyelimuti langit Surga, bersamaan dengan petir maha yang menggelegar hingga terdengar ke alam fana. Membakar beberapa negeri, hingga membuat para dewa meringkuk ketakutan di atas singgasananya. Hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, dan segala makhluk hidup yang ada di alam semesta ini sekarat, ketika sang Dewa Kehidupan menarik jiwa mereka secara perlahan-lahan dan penuh dengan rasa sakit yang mendera jiwa serta raga.

Dunia, benar-benar merasakan hukumannya.

Tiada sakit, tanpa luka yang tercipta. Mungkin, itulah penggambaran yang tepat atas apa yang terjadi saat ini. Bukan salahnya, sebagai seorang dewa pemberi kehidupan untuk sedikit memberikan apa yang ia rasakan kepada mereka yang menjadi penyebab semua ini terjadi. Karena, satu jiwa berharga yang menghilang, harus dibayar oleh sepuluh ribu jiwa yang lain.

Apalagi jika jiwa yang hilang itu adalah belahan jiwanya.

Lantas, apakah sepuluh ribu jiwa yang lain itu sepadan?

Tcih, bahkan jutaan dari mereka takkan sebanding dengan belahan jiwanya. Hah, haruskah kini ia berubah menjadi dewa yang jahat dengan membantai para fana atau bahkan para dewa demi dukanya yang tak tertahankan ini?

"Kau harus merelakannya." Suara lembut seperti petikan dawai halus itu terdengar berbisik, beriringan dengan sentuhan lembut di pundak kokoh yang terlihat rapuh karena getaran kecil dari sang Pemilik Tubuh. "Karena jika tidak, ia takkan bisa beristirahat dengan tenang di Lembah Zhutian, Anakku."

Sosok wanita, dengan gaun putih indah nan berkilau itu begitu cantik. Akan tetapi, kecantikan itu seolah tertutupi oleh raut sedih kala memandangi pria yang tengah mendekap jasad yang tidak lagi bernyawa dalam tangisannya. Ia tak melakukan apapun, hanya berdiri membuat jarak untuk memandangi sambil menangisi dalam diam. Sungguh, ia adalah seorang Dewi Takdir. Dirinyalah yang bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di seluruh alam semesta ini. Tiada satupun hal yang luput dari mata dewanya. Seharusnya.

Namun, demi seluruh alam semesta, ia lalai dalam tugasnya. Kematian Dewi Keindahan itu sama sekali tidak tertulis dalam kitab takdirnya. Dan bahkan, ia tak mengetahui bahwa ada marabahaya yang sedang menanti di seberang sana.

Senyuman satiris menghiasi wajah dingin sang Dewa Kehidupan. Air mata kesedihan itu masih mengalir dalam diam melintasi pipinya. Lelucon apa yang sedang dilontarkan oleh ibunya ini? Merelakan sang Kekasih yang telah mati mengenaskan karena pembunuhan kejam ini? Astaga! Haruskah ia terbahak-bahak atas lelucon itu?

Baru sedetik rasanya ia berbahagia dengan sang Kekasih!

Baru sebutir pengorbanan rasanya yang ia lakukan untuk sang Kekasih!

Baru sekejap rasanya ia melepas rindu pada sang Kekasih!

Dan kala kebahagiaannya direnggut secara paksa dari dekapannya, dirinya harus merelakan dengan begitu saja?

Bahkan manusia fana yang tak tahu apa-apa sekalipun tahu, betapa sakitnya kehilangan orang yang dicintai secara paksa dan dengan begitu kejamnya!

"Ini semua adalah kesalahan kalian," bisik sang Dewa Kehidupan, menelan salivanya sendiri demi mencegah raungan kesedihan itu kembali terdengar ke seluruh penjuru Alam Surgawi. Bersumpah, seluruh kekuatannya berkumpul di telapak tangannya. Sudah siap untuk menghancurkan segala sesuatunya jika sang Dewa Pemberi Kehidupan ini tak lagi dapat menahan murka yang sudah di ujung kepala. "Khususnya kau ..., Dewi Takdir!"

Tiada seorang pun wanita di muka bumi ini yang dapat menahan sakitnya dilukai oleh anak sendiri, bahkan seorang dewi sekalipun. Seperti palu godam yang menghantam hingga menghancurkan seisi negeri, itulah yang kini dirasakan sang Dewi Takdir. Hancur, hingga yang tersisa hanyalah puing-puing rapuh yang tidak lagi berguna. Saat ketika sang Buah Hati, tak lagi dapat menggumamkan kata 'ibu' dari bibirnya sendiri. Sungguh, bukanlah keinginannya semua ini terjadi. Namun, di lain sisi, ia pun tak dapat mengelak sebuah fakta yang jelas mengatakan bahwa ini semua adalah kesalahannya.

The Peach BlossomsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang