Jumat sore ini Daffa sudah tiba di kota tempatnya tumbuh besar. Jalanan yang sangat ia kenali itu nggak banyak berubah. Masih sama macetnya dengan proyek pembangunan yang memperparah hal itu.
Di perempatan utama Daffa mengambil arah kanan, berlawanan arah dengan daerah rumahnya berada.
Sebelum pulang ke rumah ia harus menemui seseorang terlebih dahulu. Seseorang yang ia kenal lewat kejadian menyebalkan namun kemudian hal itu lah yang membuat mereka akhirnya dekat sampai sekarang.
Zevanya Agni Paramitha, si cewek freak yang juga penulis dan cewek yang kini dekat dengannya.
Zeva lah yang jadi alasan ia langsung pulang setelah jadwal kuliahnya usai. Menempuh jarak ribuan kilo dengan waktu hampir tiga jam dengan berkendara untuk tiba hari ini juga. Demi Zeva.
"Assalamualaikum."
Daffa mengetuk pelan pintu rumah Zeva. Langkah kaki terdengar dari dalam disusul suara pintu yang terbuka.
"Daffa!"
Daffa memamerkan cengirannya. "Halo Zevanya Agni Paramitha, si cewek galak suka ngambekan yang udah nggak mau lagi angkat telepon gue lima hari ini."
Zeva menaikkan satu alisnya, bibirnya mencebik sebal. Daffa nggak tau apa yang berubah dalam diri Zeva, tapi kenapa cewek di depannya ini terlihat lebih cantik dari sebelumnya?
"Kalo lo kesini cuma mau ngehina gue mending pulang aja sana!"
Daffa buru-buru merangsek masuk ke dalam rumah dan menarik tangan Zeva yang berada di pintu untuk masuk.
"Yaelah, ngambekan banget sih, Neng."
Zeva melepaskan tangannya. "Modus lo!"
Daffa membalasnya dengan cengiran. "Ayo jalan-jalan, ganti baju gih."
"Nggak mau!"
Daffa mendecak. Tangannya bergerak ke atas kepala Zeva dan mengacak rambut hitam panjang cewek itu yang tergerai.
"Ish!"
"Makanya udahan ngambeknya, ntar gue beliin apa aja deh yang lo mau."
"Bener?" Zeva menatap Daffa dengan tatapan menyelidik.
Daffa mengangguk cepat. "Apa pun demi Zeva!"
"Beliin gue Helikopter warna ungu."
Daffa mendelik. "Ya nggak gitu juga."
"Katanya apa pun," cibir Zeva.
"Kalo helikopter dan benda-benda lain yang harganya mahal ya nanti lah, tapi lo jadi istri gue dulu."
"Dih!"
Daffa terkekeh. "Udah ngambeknya, ganti baju terus ikut gue. Yuk."
"Nggak mau keluar rumah," jawab Zeva dengan nada sebal.
"Terus maunya gimana?"
"Terserah."
Daffa mendesah panjang. Tatapannya kembali pada Zeva yang menatap keluar rumah.
"Ke toko buku yuk, gue beliin novel deh, jangan ngambek lagi."
"Nggak ah, bosen."
"Terus apa?"
"Terserah."
Daffa menarik napas perlahan. Ia mulai kesal juga. Tiga jam ia berkendara tanpa henti untuk menemui cewek di depannya ini tapi malah Zeva benar-benar nggak menghargai itu.
"Mau lo apa sih? Gue udah minta maaf, gue udah kesini tapi lo masih kayak gini! Mau lo apa? Bilang!"
"Kok jadi lo yang marah-marah?"
"Ya gimana gue nggak marah kalo lo ngeselin? Gue relain abis pulang kuliah langsung kesini buat lo, buat minta maaf sama lo, buat nepatin janji yang nggak bisa gue tepatin sebelumnya."
Mata Zeva melebar. "Ya terus emang gue minta lo kesini? Kalo gue emang ngeselin ngapain lo nyamperin gue? Pergi aja sana!"
Daffa menghela napas. Ditatapnya Zeva sekali lagi sebelum kemudian memutar tubuhnya keluar dari rumah Zeva.
Zeva menatap punggung Daffa yang mulai menjauh dengan tatapan tajam. Amarah di dadanya memuncak. Kenapa sih cowok itu ngeselin? Nggak pernah peka kalo cewek tuh pengen dibujukin dan dingertiin tanpa harus bilang?
"DASAR COWOK NGESELIN! SOK GANTENG! SOK PENTING! DASAR FREAK! BENCI GUE SAMA LO!" Zeva meluapkan kekesalannya dari teras pada Daffa yang hampir menyentuh pagar rumahnya.
Daffa menoleh. Matanya menatap cewek itu tajam. Dengan langkah panjang dihapusnya jarak antara dirinya dan Zeva.
"Lo nyuruh gue pulang ya gue pulang tapi lo marah. Lo gue tawarin buat jalan tapi nggak mau, gue tanya maunya apa jawabnya terserah. Dasar cewek!" ujar Daffa sengit.
"Emang kenapa kalo gue cewek?"
"Ya kayak lo gini nih, ngeselin! Nggak jelas maunya apa, selalu minta dingertiin tanpa berusaha ngerti. Selalu self-oriented."
"Nggak semua cewek kayak gitu!"
"Semua cewek yang gue tau kayak gitu, kecuali Diba."
Zeva merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya saat Daffa menyebut nama Diba -mantan pacar tersayang yang membuat cowok ganteng macam Daffa ini nggak bisa moveon dan tobat jadi playboy-.
Kepala Zeva mengangguk. Matanya meredup.
"Iya, cari sana cewek kayak mantan lo itu."
Daffa kehilangan kata-katanya. Ia masih terdiam di teras bahkan sampai Zeva masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu serta menarik rapat gordinnya.
"Bego."
Daffa mengacak rambutnya asal. Ia sudah salah bicara.
•
Makasih udah setia nunggu!
Ku sayang kalean!
KAMU SEDANG MEMBACA
One Chance
Short Story"Kesempatan lo cuma satu kali." "Dan gue nggak akan bikin lo nyesel karena ngasih kesempatan itu." •Sequel Once Again• One Chance Elok Puspa | Juli 2017 Photo taken from Pinterest.