Jangan

1.2K 151 5
                                    

Suasana mendadak canggung. Daffa masih mengatupkan rahangnya sedangkan Zeva menatap lurus pada kaleng susu beruang di tangan.

Ini pertama kalinya kecanggungan itu muncul di antara keduanya.

"Lo udah makan?"

Pertanyaan yang keluar dari mulut Daffa itu memecah suasana aneh yang sempat menyelimuti dua orang di ruangan itu. 

Zeva menegakkan kepalanya lalu menatap Daffa sambil menggeleng. "Belum."

"Makan yuk, lo mau apa?"

Mata Zeva menatap lurus-lurus pada Daffa yang kini sudah terlihat seperti biasanya.

Berbagai tanya sudah membludak dalam kepalanya. Ingin melontarkan segala pertanyaan yang selama ini membelenggunya.

Zeva menghela napas. "Apa aja. Terserah."

"Oke. Tunggu sini. Biar gue yang beli."

Daffa sudah berdiri dari duduknya saat kemudian Zeva ikut bangkit.

"Gue ikut."

"Yakin? Lo mending istirahat di sini aja, biar gue yang beli."

"Nggak. Gue ikut lo."

Daffa menaikkan satu alisnya. Tapi kemudian mengangguk, mengiyakan permintaan Zeva.

Perlahan tangannya bergerak menggenggam tangan Zeva yang terasa panas.

"Kunci pintunya."

Zeva cuma bisa mengangguk tanpa berniat mendebat lagi. Jantungnya sudah berdetak nggak karuan.

Selesai mengunci pintu, keduanya berjalan ke luar pagar. Lagi-lagi Zeva dibuat mati kutu saat Daffa membukakan pintu penumpang untuknya, hal yang tak pernah cowok itu lakukan sebelumnya.

"Makasih."

"Sama-sama."

Begitu Daffa menutup pintu dan berjalan mengitari mobil. Zeva menghela napas panjang, berusaha menormalkan detakan jantungnya yang menggila itu.

Hal seperti ini mulai mengganggunya. Debaran jantung yang nggak karuan, pipinya yang mudah memanas saat berdekatan dengan Daffa dan bahkan hanya ditatap lama oleh cowok itu bisa membuatnya gugup.

Zeva nggak suka perasaan seperti itu. Hal itu membuatnya merasa seperti bukan dirinya.

Jatuh cinta selalu membuatnya kehilangan jati diri.

"Kata dokter lo kenapa?" tanya Daffa saat mobil keluar dari gerbang perumahan.

"Kecapekan sama makan nggak teratur," jawab Zeva mengingat ucapan dokter tadi.

"Udah badan kurus gitu, makan susah, demennya junk food."

"Ngomel mulu nih, kayak kakak gue."

"Lagian lo kalo dikasih tau susah, kesehatan tuh mahal, Zeva."

"Iya, Daffa yaampun, lo mulai kayak ibu-ibu tau nggak."

Zeva mendengar Daffa mendengus. Tapi ia tak merespon apa pun. Mobil mulai berbelok ke arah jalan utama.

"Khawatir ke orang lain tuh nggak enak, apalagi kalo yang dikhawatirin nggak nyadar juga."

Sontak Zeva menoleh dengan pandangan tanya.

"Lo ngomongin gue?"

Lagi-lagi Daffa mendengus. Cowok itu tak menoleh pada Zeva dan tetap fokus pada jalanan di depannya.

Zeva menghela napas panjang. Selalu seperti ini jika Daffa mulai serius dengan ucapannya. Cowok itu akan fokus pada apa yang dikerjakan seolah kalimat-kalimatnya itu renungan yang patut dipikirkan olehnya.

"Iya, besok-besok gue makan tepat waktu dan ngurangin junk food."

"Janji ke diri lo sendiri aja, Zev. Jangan ke gue, kalo gue nggak ada lo bakal ingkarin itu."

"Apa lo niat buat 'nggak ada'?" tanya Zeva dengan nada sengit. Sebel juga lama-lama terus dipojokin.

"Hidup nggak ada yang tau."

"Ngomong gitu sekali lagi, gue bener-bener nggak mau ketemu sama lo."

Ancaman Zeva itu sukses membuat Daffa menoleh. Cengiran khas Daffa muncul perlahan.

"Cie, takut gue tinggalin ya?"

Zeva mendecak keras. "Ew."

Daffa meresponsnya dengan tawa. Diam-diam Zeva ikut tersenyum. Tawa Daffa menjadi satu hal yang selalu Zeva rindukan.

Mata Zeva membesar saat melihat jalanan di sekelilingnya. Kepalanya sontak menghadap Daffa.

"Lo masih pengen siomay kan?" tanya Daffa dengan senyum separonya yang sumpah demi apa pun, Zeva benar-benar dibuat terpesona.

Kepalanya mengangguk dengan senyum lebar. "Masih banget!"

Lagi-lagi, Daffa tertawa membuat Zeva makin melebarkan senyumnya.

"Abis ini jaga kesehatan ya, jangan sakit mulu."

Zeva mengangguk cepat. Terlalu bahagia karena sebentar lagi akan mencecap gurihnya bumbu kacang yang dipadu siomay yang lembut.

"Iya."

"Jangan bikin gue khawatir."

Senyum lebar Zeva lenyap digantikan pipi yang memanas dan jantung yang menggila.

"Jangan bikin gue selalu pengen pulang cuma buat mastiin lo baik-baik aja."

Zeva menelan ludahnya. Membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.

"Karena entah sejak kapan, lo selalu ada di pikiran gue."

One ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang