Rumah Daffa

1.2K 134 11
                                    

Setelah membongkar lemari, mengacak-acak tumpukan bajunya, dan mengomel panjang lebar tentang koleksi baju yang sepertinya tidak ada yang cocok, ditambah ceramah serta pertanyaan-pertanyaan dari sang kakak membuatnya pusing, akhirnya Zeva menemukan setelan baju untuk dipakai ke rumah Daffa.

Celana kulot warna hitam dan blouse polos warna merah marun.

"Lo tuh mau main apa mau ketemu presiden sih? Gila, ini baju lo keluarin semua," omel kakaknya untuk entah keberapa kalinya.

Zeva mendengus menatap kasurnya yang sekarang dipenuhi tumpukan baju.

"Gue nggak mau bantuin beresin pokoknya."

"Ish, elah."

Kakaknya ganti mendecak. "Lagian, suruh siapa grasak-grusuk jadi cewek, emang lo tuh mau kemana sih?"

"Mau main," jawab Zeva sambil menumpuk baju-bajunya.

"Main ke rumah presiden? Apa ke rumah menteri? Gebetan lo anak pejabat?"

Zeva mendelik ke arah kakaknya. "Ish, udah sana, lo bukannya bantuin malah ngomel doang."

"Kurang ajar! Tadi manggilin gue," bela kakaknya dengan nada jengah. Jelas-jelas tadi adiknya yang super berisik itu teriak-teriak meminta bantuan, mengganggu pekerjaannya di depan laptop dan sekarang malah mengusirnya.

"Yaudah sana, gue udah nggak perlu lo lagi."

Jawaban sadis Zeva mendapatkan jitakan keras di kepalanya dari sang kakak.

"Adawww! Sakit!"

"Rese sih."

"Kalo gue jadi pusing lagi gimana? Baru sembuh juga!"

"Yaudah nggak usah pergi."

Zeva mencebikkan bibir mendengar jawaban kakaknya dari luar kamarnya itu.

"Jadi lah! Gue sehat kok!"

Zeva buru-buru menjawab sebelum kakaknya berubah pikiran dan malah melarangnya pergi.

Matanya tak sengaja tertuju pada jam di atas nakasnya. Kedua bola mata itu membesar seketika.

"Setengah empat!"

Buru-buru Zeva bangkit dan menyambar handuk di belakang pintu lantas keluar kamar dengan kecepatan penuh.

Brakkk!

"Hati-hati nabrak pintu!" teriak kakaknya dari depan televisi.

"Udah nabrak!"

"Lo nggak sampe bongkar lemari buat nyari baju doang kan?"

Pertanyaan itu kontan membuat kepala Zeva menoleh. Dengan tatapan tajam yang dibuat-buat ia mendelik ke arah Daffa.

"Ya nggak lah!"

Jelas itu sebuah kebohongan.

"Oh, kirain, biasanya kan kebanyakan cewek kayak gitu."

"Kebanyakan?"

"Hmm." Daffa mengangguk di balik kemudi dengan mata yang menatap lurus ke depan.

"Berapa banyak cewek yang lo tungguin pas nyari baju?" tanya Zeva dengan nada sinis.

Daffa meresponsnya dengan tawa kecil. "Nethink mulu sih."

"Nggak tuh." Zeva melipat kedua tangannya di perut.

Daffa mengulum senyumnya lalu mengangguk-angguk tanpa berkata apa pun.

"Nanti mampir ke toko kue dulu."

"Mau ngapain?"

"Beli kue lah, masa dagang cendol."

Daffa mendengus masam. "Yaiya gue tau, mau beli buat apa?"

"Buat nyokap lo, kan nggak enak udah masak buat gue tapi gue nggak bawa apa-apa."

"Santai aja kali, lo dateng aja nyokap gue seneng."

"Udah nggak pa-pa, gue pengen beli."

"Yaudah. Dari pada ngambek."

"Ish! Gue nggak ngambekan tau!"

"Masa?"

"Bodo!"

Zeva kira rumah Daffa akan sangat megah, yang dari gerbang ke rumahnya aja bisa sejauh trek joging. Tapi ternyata nggak, rumah Daffa sederhana dengan aksen minimalis yang khas, rumah dua lantai tanpa pagar itu terlihat makin cantik dengan berbagai tanaman yang menghiasi rumah.

"Yuk turun."

Zeva membasahi bibirnya sekali lagi sebelum kemudian mengangguk. Ia menyelipkan helaian rambut panjangnya ke belakang telinga sebelum turun dari mobil Daffa yang terparkir tepat di depan rumah.

Daffa menariknya melewati jalan setapak di antara rerumputan hijau di depan rumah. Sebelum sampai di teras, seserorang keluar dari sana dengan diiringi tawa.

Zeva tertegun. Genggaman pada plastik kue yang dibawanya makin mengerat.

"Wah ini dia yang ditunggu."

Seorang perempuan berambut sebahu dengan senyuman anggun itu menatapnya. Zeva memaksakan bibirnya untuk melengkung.

Di sampingnya ada seorang cewek dan satu cowok yang juga menatapnya dengan senyuman, dua lesung pipinya langsung terlihat jelas.

Bukan sesosok cowok dengan lesung pipi yang mempesona itu yang jadi fokusnya. Tapi, cewek yang berdiri di sebelahnya, berambut sepunggung dan pipi chubby, mata yang menyiratkan ketegasan dan binar kelembutan di saat yang sama.

Seseorang yang membuatnya selalu merasa tersisih ketika disamping Daffa, seseorang yang membuatnya selalu bertanya-tanya tentang perasaan Daffa, dan seseorang yang sukses membuatnya terluka hanya karena Daffa menyebutkan namanya.

Adiba Humaira, mantan terindah Fabian Daffa Hakim, satu-satunya cowok yang sekarang menghuni hatinya.

Nah lho!
Zeva ketemu Diba
Huahahahaha

Iya gue tau updatenya lama pake banget wkwkwk tapi ya namanya side project ngerjainnya pas mood aja hehehhe maklumin ya!

Makasih buat semuanya yang udah nungguin ampe lupa nih cerita kek mana wkwkwk yang udah vote dan komen!
Makasih banyakkkk!

One ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang