Rasa

1.2K 147 26
                                    

Suasana kamar Daffa mendadak mengharu biru. Seolah di tiap sudutnya tergambar bunga-bunga bermekaran begitu indahnya.

Zeva menatap Daffa tanpa mengedip. Air matanya masih mengalir tapi cewek itu tak berniat menghapusnya.

"Lo kalo bercanda jangan bikin gue kayak gini dong," jawab Zeva dengan suara tercekat setelah beberapa saat terdiam.

Daffa maju selangkah. Menumpas jarak diantara mereka. Kini Daffa benar-benar tepat di depan Zeva. Keduanya bisa saling bercermin di mata masing-masing.

Tangan Daffa terulur mengusap air mata Zeva yang terus mengalir membasahi pipi.

"Harus pake cara apa biar lo percaya?" tanya Daffa dengan nada berbisik. Tangannya masih berada di pipi Zeva. Tatapannya lekat menelisik ke kedalaman mata Zeva.

Zeva bergeming. Bibirnya terbuka tapi tak ada satu kata pun keluar dari sana.

"Lo takut," ucap Daffa menjawab tanyanya sendiri.

Zeva masih terdiam. Tak mengiyakan namun juga tak menyangkal. Apa yang dikatakan Daffa adalah kebenaran. Zeva takut memberikan kepercayaannya pada Daffa. Walaupun ia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada cowok itu.

Ketakutan Zeva bukan Daffa yang akan pergi meninggalkannya, bukan kemungkinan Daffa bisa saja menduakannya, atau karena jarak diantara mereka. Tapi, lebih pada masa lalu Daffa dan sejuta kenangan dengan mantan tersayangnya itu. Karena sesungguhnya saingan terberat adalah kenangan.

Diba bukan orang asing untuk keluarga Daffa, cewek itu memiliki akses yang lebih luas untuk kembali menarik perhatian Daffa walaupun sebenarnya Zeva yakin, hanya Faisal yang ada di hati Diba. Tapi, perasaan itu sama kompleksnya seperti kehidupan.

Butuh waktu yang nggak sebentar untuk Daffa bisa mengalihkan fokusnya dari Diba. Lebih dari dua tahun cowok itu berperang dengan dirinya sendiri untuk merelakan Diba dari hidupnya.

Daffa melepaskan tangannya dari wajah Zeva. Sedetik mereka bertukar pandangan sebelum kemudian Daffa mundur selangkah, tangannya bergerak cepat memasukkan semua foto Diba dalam kardus dan langsung menempatkan kardus itu di lantai.

Apa yang dilakukan Daffa selanjutnya membuat Zeva terkejut.

"Lo mau ngapain?" tanya Zeva dengan nada tak percaya.

Daffa yang kini sudah berdiri di atas rak setinggi pinggang itu hanya menoleh sekilas. Mata Zeva melotot saat Daffa menghapus tulisan nama Diba dengan tangan kosong.

"Lo lihat kan? Hal yang sama juga terjadi di hati gue."

Zeva mengerjapkan matanya cepat.

"Gue udah hapus dia dari hati gue. Kalo ketakutan lo karena keterikatan gue sama masa lalu gue dan semua lingkungan gue kenal akrab sama Diba, lo nggak perlu takut."

Daffa berjongkok di atas rak. Posisinya sekarang menghadap Zeva dengan mata yang tertuju hanya padanya.

"Gue nggak sebodoh itu dengan ngulang kesalahan yang sama."

Daffa terlihat menelan ludahnya. Ia menghela napas pendek.
"Butuh waktu lama buat akhirnya gue ngehapus dia dari hati gue. Bukan karena gue nggak mau ngelepas dia. Bukan, Zeva, bukan itu. Gue udah rela dia bahagia sama Faisal. Gue tau Faisal lebih dari mampu buat jaga dia."

"Gue cuma mau ngebuka hati disaat yang tepat dan pada orang yang tepat. Gue nggak mau ngebuka hati dengan masih ada bayang-bayang Diba di dalam sana, gue nggak mau sebodoh itu lagi," lanjut Daffa.

Kini giliran Zeva yang menelan ludahnya. Membasahi tenggorokan yang sangat kering. Daffa benar-benar menguras emosinya.

"Dan sekarang adalah waktu yang tepat dengan lo sebagai orang yang tepat."

"Daffa."

"Zevanya Agni Paramitha, kasih gue kesempatan buat bisa mencintai lo dengan sepenuh hati gue. Karena entah sejak kapan lo bikin gue jadi pengen terus ngelindungin lo."

"Daffa."

"Iya."

"Gue benci sama lo tau nggak!" isak tangis Zeva akhirnya lolos juga setelah lama ditahannya.

"Kenapa?" raut wajah Daffa mendadak panik. Ia bahkan sudah turun dari atas rak.

"Gue benci. Kenapa sih lo tuh bisa bikin gue kayak gini?"

Daffa melemparkan tatapan tak mengerti.

"Lo tuh dengan gampangnya bikin mood gue naik turun, dengan gampangnya bikin gue baper dan dengan segampang lo yang selalu perhatian bikin gue perlahan jatuh cinta. Gue benci, gue juga naruh perasaan yang sama ke lo." Zeva mengakhirinya dengan mengusap air matanya di pipi.

Sedangkan Daffa sudah tak bisa menahan luapan bahagianya. Senyum lebar bertengger di wajah tampannya.

"Itu artinya iya?"

Zeva mengulum senyum. Pipinya memanas karena perasaan bahagia di dalam dada.

"Kesempatan lo cuma satu kali."

Daffa menyeringai. "Dan gue nggak akan bikin lo nyesel karena ngasih kesempatan itu."

Yang selanjutnua terjadi adalah Daffa langsung menarik Zeva ke dalam pelukannya, mengangkat tubuh cewek yang sekarang resmi menjadi pacarnya itu dan berputar.

"DAFFA! JATOH!"

Cie resmi cie
Cie akhirnya move on cie
Daffa aja udah move on,
Kamu kapan?

One ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang