Cemburu

1.2K 153 10
                                    

Daffa menghentikan mobilnya di depan Rumah Zeva. Sebelum turun ia membawa serta plastik berisi roti dan susu beruang.

Rumah Zeva saat siang begini emang sepi. Pasti tuh cewek lagi tiduran dan belum ke dokter.

Daffa membuka pagar perlahan. Menutupnya dengan tanpa suara. Mendekati pintu dahinya mengernyit, nggak biasanya pintu rumah Zeva terbuka.

"Assalamualaikum."

Daffa terpaku di depan pintu. Tatapannya terarah pada dua orang berlainan jenis yang sedang menatapnya juga.

"Waalaikumsalam. Masuk-masuk," ujar cowok yang duduk di samping Zeva itu.

Daffa menahan diri untuk nggak mendengus keras-keras. Ia lalu melangkah mendekat, meletakkan bingkisannya di meja ruang tamu dan duduk di salah satu kursi kosong.

"Temennya Zeva?"

Daffa mengangguk. Tanpa senyum dengan tatapan dingin.

Cowok itu mengangguk dan beralih menatap Zeva yang terlihat pucat di sampingnya.

"Gue pulang dulu ya," pamitnya kemudian bangkit.

Zeva mengangguk dan hendak berdiri tapi kemudian kembali duduk karena tekanan di bahu oleh cowok itu.

"Lo duduk aja, ada tamu juga malah ngikut. Kalo masih kangen bilang aja," seloroh cowok itu dengan nada bercanda.

"Najis."

"Sekarang dinajisin padahal dulu disayang."

Zeva mendengus tapi setelahnya ia tersenyum. "Udah sana pulang, enek gue lihat lo."

"Masa?"

"Ish! Sana."

"Yaudah gue pulang ya."

Daffa hampir mendelik saat matanya melihat dengan jelas bagaimana tangan cowok itu mendarat mulus di puncak kepala Zeva dan mengacaknya pelan.

"Makasih ya."

"Iya, sama-sama."

Cowok itu memutar tubuhnya dan menatap Daffa dengan cengiran.

"Gue pulang dulu ya, sabar-sabarin aja si Zeva emang dia galak dari dulu."

"Raka gue tendang nih ya!"

"Uuuu takut!"

Cowok itu buru-buru keluar dari rumah setelah Zeva benar-benar berdiri.

Daffa menghela napas jengah. Melihat interkasi Zeva dengan cowok entah siapa itu membuat hatinya terbakar.

"Udah ke dokter?"

Zeva kini duduk nggak jauh dari Daffa. Di balik tudung hoodie warna merah marunnya, Zeva mengangguk.

"Udah."

"Terus?"

"Dapet obat."

"Sama siapa?"

"Sama Raka?"

"Siapa Raka?"

"Mantan."

Bibir Daffa langsung terkatup rapat. Jawaban Zeva menjelaskan semuanya. Semua sikap akrab dan candaan yang terkesan menggoda dua orang di depannya tadi. Menjelaskan juga kenapa hatinya seolah nggak terima.

Daffa cemburu.

"Oh."

Zeva mengangguk. Tangannya membuka plastik pemberian Daffa dan mengambil sekaleng susu beruang yang iklannya naga.

"Lo cabut kuliah?"

Daffa terkisap dan matanya tertuju pada Zeva yang memandangnya dengan tatapan lembut.

"Iya."

"Kenapa? Demi gue?"

Harusnya Daffa menggeleng kuat-kuat dan memberikan seribu satu alasan yang walaupun nggak masuk akal dan yang pasti Zeva akan tetap meledeknya, Daffa merasa hal itu lebih menyenangkan daripada ia harus jujur. Belum sekarang waktunya untuk itu.

Tapi, nyatanya mulutnya bekerja lebih cepat daripada otaknya.

"Iya, gue khawatir sama lo."

Sejenak suasana rumah Zeva mendadak hening. Tatapan cewek sang pemilik rumah tertuju lurus pada tamu yang tiba-tiba datang itu.

"Wow!"

"Yeah, wow."

Daffa mengusap wajahnya, menghilangkan kegugupan yang melanda dirinya. Ini bukan pertama kalinya ia sering mengatakan kalimat-kalimat menjurus ke tingkat baper pada Zeva, tapi baru akhir-akhir ini ia merasa malah dirinya sendiri yang terbawa perasaan.

"Serius, Daf?"

"Apanya?"

"Lo."

"Gue?" Daffa menunjuk dirinya sendiri dengan pandangan bingung.

"Lo beneran cabut kuliah cuma buat nengok gue?"

Daffa mendecak. "Gue udah di depan lo gini aja masih nggak percaya, apa harus gue bikin video nangis-nangis di youtube dulu biar lo percaya?"

Zeva menyeringai geli. "Boleh, kalo lo mau."

"Ssshhh."

Zeva lalu terbahak. Punggungnya yang tadi tegak kini bersandar pada sandaran kursi kayu yang berukir itu.

"Lo masih ada rasa sama Raka?"

Tawa Zeva langsung lenyap. Digantikan ekspresi aneh.
"Hah?"

"Kenapa lo ke dokter sama Raka? Kenapa nggak nunggu gue?"

"Emangnya gue tau lo mau kesini?"

"Kan kemaren gue bilang."

"Emang?"

"Iya, Zevanya."

Zeva mengulum senyumnya. "Jadi?"

Daffa mendengus. Tatapannya berlarian ke segala penjuru ruang tamu mungil ini sebelum kemudian berhenti pada dua pasang mata berlensa coklat yang memikatnya.

"Kenapa lo sama Raka?"

"Emang nggak boleh?"

"Dia kan mantan lo."

"Lo aja bisa ketemu bahkan selalu komunikasi sama Diba, terus kenapa gue nggak?"

Mposss daffa skak mat wkwkkwwk

Makasih yaaa yg udah baca, vote dan komen!
Makasih banyak!

One ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang