Los Angeles, Maret 2014
"Dan penghargaan untuk sutradara terbaik tahun ini jatuh pada Oh Sehun!" Tepuk tangan riuh yang terdengar di akhir kalimat itu membawa kembali berbagai kenangan yang terasa kabur bagi Sehun. Ia berjalan menuju panggung, tersenyum meski senyum itu tak mencapai matanya. Apalagi hatinya. Di tengah hingar-bingar suara tepuk tangan juga kilat dari kamera, Sehun tidak merasakan apapun.
Jika orang-orang melihat lebih dekat, mereka akan tahu betapa tidak bahagia Sehun berada di tempat itu. Di balik pakaiannya yang rapi juga bahunya yang berdiri tegak, ada sesuatu yang kelam di dalam Sehun. Sehun masih tenggelam bersama dukanya. Waktu empat bulan terakhir dalam hidupnya adalah masa-masa paling buruk yang pernah Sehun alami.
Sehun merasa ia telah berada di dalam neraka bahkan tanpa perlu mati terlebih dahulu. Terbangun setiap malam dengan mimpi yang sama, diiringi perasaan sesak setelahnya, hanya memperparah derita yang mendera Sehun.
Siksaan itu bagaikan tak kenal lelah, karena setelah merenggut segala hal yang ia miliki, kini Sehun terkurung dalam dunia hampa bersama lukanya yang tak kunjung mengering. Ketika akhirnya mendapat kesempatan untuk berbicara di depan mikrofon seraya memegang pialanya, Sehun terdiam sejenak.
Matanya berkelana menyusuri deretan bangku juga kamera di hadapannya, namun Sehun sama sekali tidak bisa menemukan fokusnya. Sehun kehilangan arah. Sehun mencoba meraih perasaan apa pun yang tersisa dalam dirinya dan hanya menemukan hampa. Tak ada apa pun. Juga tak ada siapapun.
Maka dengan usaha terbaiknya untuk tersenyum, Sehun mengucapkan satu kata yang terasa begitu berat di lidahnya. Kata yang sesungguhnya tak sudi ia ucapkan lagi. "Terima kasih." Setelah itu Sehun turun dari panggung dengan langkah panjang tanpa menoleh lagi.
oOoOoOo
Sehun terbangun dengan napas yang berkejaran juga bulir-bulir keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Mimpi itu kembali datang. Mimpi tentang hari pernikahan Luhan, di mana mereka semua saling berbagi tawa, lalu tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan Sehun tidak bisa menemukan sedikit pun cahaya.
Mimpi itu bagaikan pedang bermata dua, membuatnya merasa bahagia selama sesaat, sebelum merenggutnya lagi dengan tambahan luka. Sehun melangkah turun dari tempat tidur. Tanpa menyalakan lampu, ia terus berjalan menyusuri apartementnya menuju dapur.
Setelah meminum segelas air putih, Sehun melanjutkan langkah menuju kamar kedua yang ia jadikan sebagai ruang menonton. Sehun meletakkan peralatan tercanggih untuk menonton di ruangan itu, diikuti kursi yang nyaman juga sederet fasilitas lain yang hanya mungkin diciptakan oleh seorang sutradara.
Ini adalah rutinitas yang selalu Sehun lakukan selama empat bulan terakhir setelah ia terbangun dari tidur gelisahnya. Dari pada mencoba tidur kembali-yang hanya akan membawa mimpi itu lagi-akhirnya Sehun memilih untuk menonton video berisi keluarganya. Sehun memiliki banyak video, mengingat kegemarannya merekam segala sesuatu sejak berumur sepuluh tahun.
Sehun ingat, di hari ulang tahunnya yang kesepuluh, orang tuanya menghadiahkan dirinya satu set drum band berukuran asli sementara Luhan mendapatkan handycam. Beberapa hari kemudian, Luhan mematahkan stik drum Sehun, karena Sehun lebih memilih bermain drum dari pada bermain dengannya.
Dalam usaha untuk berdamai, Luhan memberikan handycam-nya dan sejak saat itu Sehun tidak pernah berhenti merekam segala sesuatu di sekitarnya. Kini, ketika melihat video tentang kesibukan keluarganya di hari kelulusannya tujuh tahun yang lalu, Sehun merasa bersyukur karena telah merekam banyak video tentang keluarganya.
Video itu mungkin tidak akan pernah cukup untuk mengobati luka Sehun, namun setidaknya Sehun memiliki kenangan sempurna untuk tempatnya berpulang dan beristirahat. Sehun tahu hal yang dilakukannya ini hanya semakin menambah garam pada lukanya, namun Sehun tidak tahu cara lain yang lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Angel
FanfictionDan kau adalah milikku, Oh Jongin. Malaikat tak sempurna yang menyempurnakan hidupku.