Alpha Scorpii

478 51 0
                                    


April 2018

"Kak!"

"Kakak! Bangun!"

Mata [Name] terbuka tiba-tiba setelah mendengar teriakan adiknya yang membangunkannya. Di tengah gelapnya ruang tidur yang mereka tempati, sang adik bisa melihat jelas mata kakaknya yang memerah dan basah akibat air mata. Nafas kakaknya berderu tak karuan dan matanya dipenuhi sorot ketakutan yang amat sangat.

"Kakak kenapa?", tanya si adik kepada sang kakak. Dengan perlahan ia membantu mendudukkan si kakak di kasur dari posisi berbaring.

Masih memegang kedua pundak si kakak, si adik bertanya lagi, "Kakak habis mimpi buruk lagi? Aku ambilkan minum ya."

Si adik beranjak turun dari kasur dan berjalan menuju dapur. [Name] tertunduk sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangan kanannya. Berusaha menenangkan dirinya sambil sesekali memijit pelan keningnya. Tangan kirinya ia gunakan sebagai tumpuan agar tubuhnya tidak ambruk.

Begitu adiknya kembali dengan segelas air putih, [Name] mendongak dan menghapus jejak air mata dari wajahnya.

"Makasih", ujar [Name] dengan suara parau sebelum menenggak setengah dari isi gelas tersebut.

[Name] menyerahkan kembali gelas tadi kepada adiknya yang langsung diletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidur mereka. [Name] memberi isyarat kepada adiknya untuk mendekat. Direngkuhnya sang adik dalam dekapan sambil sesekali mengelus pelan rambut panjang adiknya yang memiliki warna sama dengan rambutnya.

"Kakak mimpiin bapak sama ibu lagi?", tanya [Sister's Name] seraya membalas pelukan kakaknya.

[Name] hanya mengangguk sebagai jawaban. Semenjak kejadian satu tahun lalu, ia tidak bisa tidur nyenyak. Bayang-bayang kedua orang tuanya selalu menghantui setiap malam, hampir di setiap mimpinya. Kalau saja jelas dimana orang tuanya dimakamkan, ia tidak akan seperti ini. Masalahnya, jasad mereka sampai sekarang belum ditemukan.

Tidak jelas kenapa mereka dibunuh sampai segitunya. Itu juga salah satu yang membuat [Name] mengalami gangguan tidur selama setahun belakangan.

"Kakak nanti mau ke tanjung. Kamu mau ikut?", tanya [Name] kepada adiknya yang masih meringkuk di pelukan [Name].

"Maaf kak, hari ini [Sister's Name] ada kegiatan di kampus sampai sore jadi gak bisa ikut."

Sesal [Sister's Name]. Ia ingin sekali ia ikut dengan kakaknya ke tanjung. Ke tempat mereka biasa melakukan penghormatan untuk kedua orang tua mereka walaupun mereka tahu bahwa kedua orang tua mereka tidak ada di sana.

[Name] melirik jam arloji yang ada di atas meja. Pukul empat dini hari.

"Sudah jam 4. Mau tidur lagi apa nggak?"

"Kakak sendiri mau tidur lagi apa nggak?", tanya [Sister's Name] balik.

"Kakak mau memasak buat bekal ke tanjung."

"Aku bantu ya? Mumpung hari ini kelasku pagi. Nanggung kalau tidur lagi", pinta [Sister's Name] memandang polos kakaknya.

Mereka benar-benar hampir serupa. Dari sifat maupun penampilan. Hanya saja, [Sister's Name] lebih tinggi sedikit dan rambutnya panjang bergelombang. Warna mata [Sister's Name] menurun dari ayahnya. Sedangkan iris (Warna Mata) yang dimiliki [Name] menurun dari ibunya. [Name] lebih pasif dari adiknya yang sangat aktif. Ibarat tubuh, [Name] adalah otak sedangkan [Sister's Name] adalah otot.

"Boleh", jawab [Name] sambil tersenyum tulus kepada adiknya. Senyum yang benar-benar mengingatkan [Sister's Name] pada ibunya.

Akhirnya, kedua saudari itu beranjak ke dapur dan mulai mempersiapkan keperluan untuk menyongsong hari.

Trilogi Sabuk Orion #3 - MintakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang