Hijrah

792 15 8
                                    

Gadis lugu dengan rambut yang selalu diikat satu dibelakang membuatku mendapat julukan si kucir kuda. Karena rambutku yang tebal ketika diikat terlihat seperti ekor kuda. Itu julukanku waktu SMA. Tapi kini julukan itu tidak pernah aku dengar lagi, meskipun masih saja kuikat seperti biasanya. Hanya saja yang membedakan sekarang adalah mereka tak bisa lagi melihat ekor kudaku, karena semenjak menduduki bangku perkuliahan aku mulai mengenakan jilbab.

Aku berjiljab karena kampusku adalah universitas islam, sehingga mewajibkan semua mahasiswinya harus menutup aurat. Gerah, ribet, itu yang aku rasakan pertama kali saat mengenakannya. Mungkin karena belum terbiasa.

Memasuki awal semester, aku bersikap PHP (pemberi harapan palsu) terhadap jilbabku. Pakai-lepas, pakai-lepas. Mengenakannya hanya saat berada di kampus saja. Setelah diluar kampus rambutku masih terlihat seperti ekor kuda.

Perjalananku mengenakan jilbab tidak semudah yang orang lain pikirkan. Kesana kemari banyak orang yang berkomentar tentang keputusanku yang akhirnya mengenakannya. Terutama dalam lingkungan keluargaku.

Dulu aku sempat berpikir bahwa berjilbab itu mudah, hanya tinggal pakai kalau keluar rumah. Ternyata tidak! mudah aku mengenakan, tapi tak mudah mendengar komentar orang-orang.

Mencoba perlahan-lahan namun pasti. Pertama, aku berjilbab jika hanya ke kampus saja. Lalu lambat laun, jilbab mulai membuat hatiku gelisah, hingga aku belajar memakainya bila pergi-pergi jauh selain ke kampus, tapi masih saja menganggap enteng (ringan) tak memakainya bila duduk didepan teras atau hanya sekedar beli sesuatu ke warung tetangga.

Lagi-lagi, memasuki semester dua perkuliahan, jilbab semakin membuat hatiku gelisah. Hingga aku mulai belajar mengenakannya ketika kakiku mulai melangkah keluar dari pintu rumah. Tapi, masih saja aku belum konsisten mengenakannya. Pagi hari duduk di teras mengenakannya, bisa jadi sore hari ketika bertemu tamu aku tidak mengenakannya. Begitu terus sampai pada akhirnya aku merasa lebih malu pada diriku sendiri. Ini lebih tidak konsisten! Teriak hatiku. Pikiranku melayang-layang, prasangka buruk mulai menghantuiku "Gimana jadinya kalau aku kadang berjilbab, kadang enggak. Pasti tetangga-tetangga dan teman-temanku akan mencibirku."

Bisikan-bisikan entah dari mana tiba-tiba melesat tepat ditelingaku, "Pakai jilbabmu jika ke kampus saja, kalau sudah diluar kampus tidak pakai juga tidak apa-apa"

"Daripada kamu memakainya hanya saat ingat saja. Orang pasti akan lebih mencibirmu. Mendingan, udah deh enggak usah pakai. Lagian dulu kamu kan emang enggak berjilbab. Terus, orang lain bersikap baik-baik saja dengan kamu. Mereka tidak pernah mencibirmu meskipun tidak berjilbab" Lanjutan bisikan itu yang semakin menguat dan mengalir ke dalam otak. "Entahlah! Lebih baik aku tidur saja." Kataku untuk mengistirahatkan pikiranku.

Senin pagi yang cerah, masih mengikuti perkuliahan di semester dua. Jarum jam cepat sekali berputar, hingga sudah menunjukkan waktu shalat dzuhur. Aku memutuskan shalat berjamaah di masjid kampus, karena jam satu siang aku masih ada jadwal kuliah.

Selesai shalat berjamaah, dilanjutkan dengan ceramah yang biasanya disampaikan oleh Pak Amir yaitu dosen Fakultas Agama Islam. Tapi kali ini aku pikir bukan Pak Amir yang berceramah, suaranya tidak seperti biasanya yang aku dengar. Aku hanya bisa menebak, karena tempat shalat para jamaah perempuan berada dilantai atas, sedangkan imam dan jamaah laik-laki ada di lantai bawah. Wajah mereka tidak terlihat jelas bila kutengok dari lantai atas. Selesai mendengarkan ceramah, aku pun bertanya pada Mina, teman satu fakultasku, "Sepertinya tadi itu bukan Pak Amir ya Min, suaranya beda. Iya kan?"

"Iya Rin, katanya Pak Amir sedang sakit beberapa hari ini. Jadi diganti sama anak didiknya. Makanya sering shalat di masjid Rin, biar tau informasi.. hahaha.." Kata Mina yang membuatku malu.

JilbabkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang