Setelah kejadian minggu lalu, tepatnya di kantin dengan subyek aku, laki-laki tak ku kenal, dan ibu kantin yang mungkin kalau di sinetron akan menjadi tim hore saja, hehehe maksudnya tokoh figuran, membuatku menjadi gelisah. Suasana kampus terasa horror. Apalagi semenjak aku tahu kalau laki-laki itu satu kelas denganku dalam satu mata kuliah yang sama. Ternyata dia adalah satu tingkat lebih tua dari aku dan namanya adalah Sahid Mustafa.
Derr! Tambah meledak gelisahku. Sahid Mustafa? Dia kakak tingkat? Rasa cemas kalau sudah berurusan dengan yang namanya kakak tingkat. Pikiranku masih terjebak di zaman SMA atau SMP. Setiap berurusan dengan kakak kelas pasti ujung-ujungnya enggak kelar. Kelarnya kalau benar-benar si siswa enggak kuat, terus laporin ke guru BP atau bahkan orang tua mereka. Itu sih sekilas yang aku tahu, karena banyak sekeliling temanku yang berurusan dengan kakak kelas. Dan yang melatar belakangi kasus seperti itu biasanya karena rebutan pacar. Ya Rabb.. kadang geli juga kalo teringat zaman sekolah dimana siswa-siswinya saling bermusuhan hanya gara-gara pacar, yang notabene mereka bukan mahrom.Yupz! Tidak munafik. Aku Arina, aku pun juga geli kalau teringat aku pernah pacaran. Gelinya waktu pacaran bukan karena musuhan sama kakak tingkat karena rebutan cowok. Tapi, lebih tepatnya geli karena kebodohanku yang baru tahu kalau berkhalwat itu dilarang sama Allah.
Dalam QS. Al-Israa': 32 yang artinya "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,"
"Kan cuma sekedar ngobrol berdua aja. Makan berdua. Masa sih gitu aja dosa?" protesku waktu ada salah satu temanku yang tidak setuju dengan keputusanku untuk pacaran.
"Berdua dengan yang bukan mahrom itu bisa menimbulkan fitnah Rin."
"Makanya biar enggak menimbulkan fitnah kan, kita buat status. Dengan pacaran. Biar enggak dikira hanya ha te es hubungan tanpa status, te te em teman tapi mesra, dan biar enggak dikira juga cuma kakak adik." Jempol, jari telunjuk, dan jari tengahku pun terangkat.
"Status yang sah antara laki-laki dan perempuan yang ingin menjalin hubungan itu bukan dengan pacaran Rin, tapi menikah. Tau enggak? Pacaran itu malah awal dari segala fitnah."
"Ha? Menikah? Ya kali, usia masih belasan gini suruh nikah. Terus kenapa pacaran bisa jadi awal dari segala fitnah?" aku geleng-geleng kepala manandakan tidak paham dengan maksud Via, sahabatku sejak duduk di bangku sekolah dasar.
"Pacaran itu bisa membuatmu terfitnah. Contohnya kamu lagi jalan berdua sama pacar kamu, gandengan tangan, mesra-mesraan di depan umum. Bisa jadi orang berpikiran kamu udah menikah, itu yang husnudzon pikirannya. Tapi sama aja kan pikirannya menimbulkan fitnah kalau kamu udah menikah. Padahal kan belum? Bisa jadi orang yang positive thingking tadi adalah orang yang suka sama kamu, terus benar-benar ingin menikahimu. Tapi karena tau kamu sedang mesra-mesraan sama pacar kamu, dia kira kamu udah menikah. Batal deh akhirnya rencana ingin meminang kamu."
"Tapi kan aku enggak mesra-mesraan gitu seperti orang pacaran yang lainnya. Aku biasa aja, kayak temenan." Aku terus menyangkal.
"Nah, itu juga bisa menimbulkan fitnah. Kamu emang enggak mesra-mesraan sama pacar kamu. Tapi, bisa dibilang tiap hari di sekolah ketemu dia. Ngobrol sama dia. Makan ke kantin sama dia. Pulang kadang diantar dia. Enggak menutup kemungkinan kan, kalau seumpama ada laki-laki sholeh dan dia suka sama kamu, tapi setelah tau kamu sering jalan berdua sama pacarmu. Dia pun akhirnya mengurungkan niat untuk meminangmu. Dia cemburu, dia jadi enggak yakin kalau kamu pantas untuk dipinang."
"Apa kamu enggak merasa rugi bila ternyata selama ini ada laki-laki sholeh yang tiap sepertiga malamnya berdoa untukmu. Dan kamu pun malah lehai-lehai pacaran." lanjutnya.
"Tapi pacarku juga rajin shalat kok, katanya sering shalat tahajud juga. Berdoa agar hubunganku dengan dia langgeng. Apa itu juga salah? Mungkin dia memang jodohku."
"Kamu yakin dia jodoh yang kamu impikan selama ini? Bukannya kamu pernah bilang kalau kamu ingin mendapatkan calon imam yang sholeh?"
"Iya makanya aku nerima dia. Karena dia rajin shalat."
"Shalat itu kewajiban bagi setiap muslim Rin. Kamu jangan mengukur jatuh cinta itu hanya karena dia terlihat rajin shalat. Tapi lihat juga cara meng-aplikasikan-nya ke kehidupan sehari-hari. Apakah shalatnya itu membawa dia semakin baik akhlaknya, atau malah shalatnya hanya sekedar untuk memenuhi kewajibannya tetapi tetap melakukan maksiat yang lainnya?" seketika aku terdiam mendengar Via yang berusaha terus menyadarkanku bahaya pacaran.
"Ya sampai sekarang mungkin kamu memang enggak mesra-mesraan. Karena hubungan kamu masih dibilang seumur jagung, malah lebih pendek dari jagung. Kamu harus ingat Rin, berduaan dengan yang bukan mahrom itu menimbulkan yang ketiga yaitu setan. Hati-hati Rin, setan itu mainnya lehai sekali. Mereka banyak trik untuk menyesatkan manusia. Jika belum sampai pada tujuannya, setan akan terus membujuk manusia untuk mendurhakai Allah."
"Terus aku harus gimana sekarang?"
"Mungkin awalnya akan menyakitkanmu, tapi ini juga awal untukmu terbebas dari belenggu setan yaitu putus." Kata Via dengan nada santai.
"Putus? Tapi kan aku enggak ada masalah apa-apa sama dia. Masa tiba-tiba putus?"
"Sejak awalpun kamu sama dia itu udah bermasalah Rin."
"Kok bisa?"
"Iya, kalian terkena rayuan setan. Dan kalian mengikutinya. Itu masalah kalian. Sudahi atau kamu akan membuat setan semakin menertawaimu karena mudahnya kamu terhasut."
Aku terdiam beberapa menit. Otakku berputar memikirkan sesuatu. Hatiku membujuk untuk mengiyakan kata Via untuk putus. Tapi pikiranku masih soal cinta yang tidak halal itu.
Satu pekan kemudian. Aku mendial nomor handphone Via.
"Halo.. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam Arin. Ada apa? Mau main ke rumahku?"
"Bukan Vi. Aku mau kasih kabar gembira buat kamu." kataku dengan nada yang tidak tampak ingin memberi kabar yang gembira.
"APA???" tanyanya kepo banget.
"Aku.."
"Udah.." "PU-TUSSSSS!!!!" kataku teriak kegirangan. Mungkin suaraku terdengar meledak ditelinga Via. Tapi ternyata suara Via lebih meledak di telingaku. Volume suaranya melebihi kegiranganku. Bisa jadi tetangganya di luar rumah pada denger kali ya.
"YEEEEE.... ALHAMDULILLAH!!!"
"Kamu tau? Aku seneng banget dengernya Rin." Via memperjelas kebahagiaannya mendengar kabar dariku.
"Aku pun juga seneng banget, rasanya itu.. PLOOONG... ini hati." Kataku sambil sesekali minum jus alpukat. "Lagian jujur nih, selama pacaran ini hatiku terus gelisah. Sering mimpi yang aneh-aneh. Dan aku enggak tau kenapa bisa gitu."
"Allah sayang sama kamu Rin. Buktinya hatimu pun terbuka untuk meninggalkan perbuatan maksiat itu."
"Ini juga berkat kamu Vi.."
"Bukan Rin, ini semua karena Allah. Enggak tau kenapa aku tiba-tiba pingin banget buat kamu sadar. Ini dorongan dari Allah. Semua dari Allah.."
...
"Rin! Kamu dari tadi ngelamun apaan sih?" Tanya Mina."Astaghfirullah.." Aku tersadar ternyata dari tadi aku melamun, teringat masa-masa sekolah yang penuh ke-ababilan (anak labil).
"Maaf deh maaf, udah sampai mana materi yang dibahas?" Tanyaku kebingungan.
"Tuh kan! Ngelamun kampung halaman ya kamu? Sampai enggak denger kalau dosen bilang cuma kasih tugas aja," Gerutu Mina. "Udah yuk pulang.." Dia menggeret tanganku. Aku pun mengangguk dan ikut jalan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jilbabku
SpiritualRank #2 in Hamasah (16-08-2018) [Jangan lupa tinggalin jejak ya readers, hargai sebuah karya. Terima kasih :) ] Memperbaiki diri itu, pandangan lurus kedepan! Ingat! Apapun yang baik itu datangnya dari Allah, maka tidak perlu ragu untuk terus menja...