MasyaAllah

115 3 0
                                    


Awan mendung meyelimuti sinar matahari yang seharusnya sudah membakar semangatku pagi ini. Ada rasa malas ketika ingin berangkat ke kampus. Salah satu alasannya adalah bila bertemu dengan laki-laki yang sampai sekarang tidak aku ketahui namanya itu.

Dugaanku tidak meleset, langit yang mendung ini ikut meramaikan suasana hatiku yang gelisah saat melihat laki-laki sinis itu berdiri di pintu masuk koridor kampus. Sepertinya laki-laki itu sudah melihatku, sehingga dia pun tetap tidak beranjak dari sana. Padahal sudah lima belas menit aku berdiri di parkiran motor seperti orang linglung. "Ya kali, aku harus pura-pura baca buku sampe kaki kesemutan"
Gerutuku. "Ya Allah, tolong suruh laki-laki itu pergi dari sana."

"Assalamu'alaikum.."

"Wa'alaikumsalam.." jawabku sambil terkejut. "Astaghfirullahal'adzim.." lanjutku ketika melihat siapa yang memberiku salam.

"Sepertinya saya membuat kamu kaget, maaf."

"O.. enggak kok Mas." Kataku sambil mengedip-ngedipkan mata seperti orang kelilipan.

"Emmm.. ngomong-ngomong kenapa kamu dari tadi ada disini? Maaf enggak sengaja lihat kamu, soalnya saya dari tadi duduk di situ. Sepertinya kamu sedang ketakutan," Kata laki-laki yang beberapa bulan lalu mengajakku ikut dalam forum dakwah. Ternyata sejak tadi dia duduk di bangku taman yang berhadapan langsung dengan tempat parkir kendaraan.

"Ha? Ketakutan? Haha.. Enggaklah Mas." Kataku mengelak. "Ini saya lagi baca buku," kataku seraya menatapnya sebentar.

"Buku itu?" katanya sambil menunjuk buku yang aku pegang.

"Iya Mas, ini." Kataku mengangkat bukuku dengan maksud memperjelas maksudku.

"Sudah sampai berapa halaman?"

"Lima belas kayanya Mas," kataku dengan mata yang mengarah ke sepatunya.

"Kamu punya keahlian membaca dengan buku terbalik ya?"

"Ha? Maksudnya?" kataku seketika mendongak tepat melihat wajahnya.

"Itu bukumu terbalik." Aku pun melihat buku yang sedari tadi aku buka. Entah rasanya hatiku tidak karuan, bercampur malu dan ingin tertawa sendiri melihat kekonyolanku. Dan aku sedikit melirik ke arahnya yang sedang tersenyum. Entah itu senyuman karena menahan tawa atau bagaimana.

"Maaf saya malah jadi ketawa." Katanya lalu senyumnya semakin mengembang karena menahan tawa.

"Enggak apa-apa kok Mas, saya jadi malu karena katahuan bohong." Kataku.

"Lain kali kalau kamu gelisah atau mungkin suasananya sedang tidak menyenagkan hati, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Seperti ini contohnya, kamu tiba-tiba berhenti disini dan pura-pura baca buku. Padahal kamu bisa pergi taman untuk duduk, atau ke masjid ambil air wudhu terus shalat dhuha. InsyaAllah hatimu lebih tenang." Katanya yang membuatku melongo kaya orang bodoh.

"Ya udah, saya masuk dulu ya... " sebelum dia mengucapkan salam, aku langsung menyela bicaranya. "Mas tunggu.."

"Iya, ada apa?"

"Makasih ya Mas nasihatnya." Kataku dan dijawab anggukan olehnya. "Terus saya boleh enggak jalan bareng Sampeyan ke sana?" Kataku menunjuk gedung fakultasku. Sampeyan berasal dari bahasa Jawa yang artinya "Kamu atau anda" tapi teruntuk orang yang lebih tua atau bisa dikatakan untuk memperhalus bahasa agar terdengar lebih sopan. Meskipun sudah hampir dua tahun tinggal di Ibu Kota Indonesia, unggah-ungguh (tata krama) yang berasal dari adat Jawa pun tetap aku gunakan.

"Sampeyan?" sepertinya dia baru dengar kata sampeyan dariku. "Orang Jawa asli ya? Hehehe.. pantesan dari awal ketemu nadanya agak beda gitu.." Katanya dan membuatku berpikiri "se-medok itukah nada bicaraku?" Huftt! . "Oya, maksudnya jalan bareng?" Lanjutnya.

"Maksud saya itu, ikut dibelakang Sampeyan. Ya jaraknya enggak deket sih.." Mendengar kata-kataku yang belepotan, dia pun hanya mengangguk. Aku pun segera mengikutinya dari belakang. Jalannya begitu tegap dan setiap orang yang berpapasan denganya selalu disapa. "MasyaAllah.." Batinku.

Sesampainya di gedung fakultas, aku bisa bernapas lega ternyata laki-laki yang menjadi momok ketakutanku sudah tidak terlihat batang hidungnya.

JilbabkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang