11. Cogito Ergo Sum II

1.8K 322 27
                                    


"Itu coppola-ku, kan?" Aksa42 menunjuk topi yang tengah kukenakan dengan salah satu tangannya masih memegang sendok yang penuh dengan makanan. Gerakannya terhenti karena ia melihat topinya ini.

Aku melepaskan topi itu, hingga akhirnya Aksa42 mengatakan, "Tidak apa-apa, pakai saja."

Uh, aku merasa sedikit tak enak padanya. Namun, untuk menghargai pendapatnya, akhirnya kukenakan kembali topi ini. Ah, rasanya menyenangkan sekali dapat menggunakan topi seperti ini, aku merasa seperti sedang mengenyam pendidikan di bangku kuliah lagi. Makan di kantin, mengenakan topi ini, kemudian berbincang dengan seseorang biarpun ketika aku kuliah dulu aku tidak berbincang pada diriku sendiri.

Makananku hampir habis. Namun, pikiranku mengenai eksistensi seluruh manusia di dunia ini tidak pernah selesai. Apakah perang dunia ketiga menyebabkan mutasi pada sel-sel kelamin mereka sehingga terjadi kelainan? Atau memang benar-benar ada suatu perbedaan dari sisi reproduksi sehingga mereka berkembang seperti ini? Membelah diri, mungkin?

Biologi bukan bidangku, aku hanya dapat berasumsi.

"Kau pernah berpikir mengenai keberadaanmu di dunia ini?" aku bertanya padanya, kemudian menyuapkan butiran-butiran nasi putih dengan lauk yang tidak terlalu asin.

"Berpikir mengenai apa?"

"Asal-usul dirimu. Bagaimana kau bisa berada di dunia ini, untuk apa kau di dunia ini."

"Ah, filosofi, ya?"

"Bukan, bukan dalam hal seperti itu." Aku mengelap bibirku, membuatnya bersih. Kemudian, menyimpan sendokku di atas piring, menandakan aku telah menyelesaikan makan siangku. "Lebih ke hal yang realistis. Maksudku, mengapa kau bisa berada di dunia ini."

Aksa42 menatapku dengan tajam.

"Di duniaku, jika seorang manusia hendak melanjutkan keturunan, mereka harus menemui seseorang, kemudian menikah dan memiliki anak."

Aksa42 masih menatapku dengan tajam. Ya ampun, rasanya seperti memberikan pengajaran tentang kehidupan pada seorang anak kecil.

"Lalu?" tanyanya.

"Ya, seperti itu. Bagaimana caraku berada di dunia ini, bukan secara filosofi," kataku. "Kau tahu kan? Sel telur, sel sprema, peleburan."

Aksa42 tak memberikan reaksi apapun. Kelihatannya, dia benar-benar tak mengerti akan hal yang baru kukatakan.

Baiklah, aku benar-benar merasa seperti sedang mengobrol dengan seorang anak yang tak tahu apa-apa.

"Memangnya kau tak pernah mempelajari hal itu ketika sekolah dulu?"

Aksa42 mendeham, sebelum akhirnya ia menyuapi mulutnya dengan suapan terakhir, menyisakan sebuah piring kotor yang terletak di hadapannya. Ia menyimpan sendoknya, persis seperti yang kulakukan tadi.

"Subjek apa yang mempelajari hal itu?" tanyanya, begitu ia menelan asupan terakhirnya itu.

"Biologi."

Aksa42 menggeram pelan.

Aku menaikkan sebelah alisku, memastikan bahwa Aksa42 sebenarnya tahu, tapi dia lupa.

Ya ampun, aku benar-benar berharap dia mengetahui tentang hal itu. Namun, jawaban yang diberikannya tidak sesuai dengan keinginanku.

"Kurasa tak pernah ada ilmu yang memberitahukan hal-hal seperti itu," katanya.

Aku menghela napas.

Sekali lagi, kurasa aku harus mengatakan bahwa dunia ini benar-benar aneh.

Tiba-tiba, Aksa42 mengeluarkan sesuatu. Dari saku bajunya, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil yang tidak begitu asing bagi diriku. Ya, itu buku portable. Di duniaku juga ada yang seperti itu. Namun, jumlahnya tidaklah banyak. Buku portable di duniaku masih menjadi barang uji coba. Orang-orang memanfaatkan teknologi sehingga retina mata dapat dijadikan kursor, sama seperti teknologi yang ada pada televisi. Namun, sulitnya mengontrol retina mata dalam pergerakan mata membuat hologram yang tertampil di depan wajah akan tergeser secara otomatis. Lagipula, berbeda dengan televisi, tulisan pada buku tentu harus dibaca dengan menggeserkan bola mata, kan?

3141 : The Dark Momentum [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang