i. Bukan di Verona

4.6K 317 45
                                    

That was tragically beautiful!”

“Biasa.”

“Perjuangan cintanya itu loh.”

“Klise.”

“Tapi –“

“Norak.”

“Pas bagian –“

“Lebay.”

“Juli!”

Seorang perempuan memutar kedua bola matanya sebagai tanggapan atas teriakan penuh kekesalan yang dilontarkan teman sebangkunya. Sebagai siswi kelas bahasa, Juli tahu betul dia akan bertemu dengan masterpiece milik William Shakespeare itu bagaimana pun caranya. Romeo dan Juliet, tentu saja. Juli hampir saja membolos di mata pelajaran tadi kalau dia tidak ingat guru mata pelajaran apresiasi drama di sekolahnya terkenal kejam dan sangat pelit dalam memberi nilai. Jadi, Julia Anadhira tidak punya pilihan.

“Lo kenapa sih nggak suka banget sama Romeo Juliet?” tambah Dinda, sahabatnya.

Juli bukannya tidak suka. Dia hanya benci. Jangan tanya kenapa, karena jawabannya akan sangat panjang tapi bermuara pada satu titik yang paling ia benci.

“Karena Romy?”

Nah. Dinda sudah menjawabnya sendiri.

Bukannya mengangguk, jawaban Juli adalah hembusan nafas berat. Seberat hidupnya karena ada mahluk bernama Romy di dunia ini.

“Apa yang salah sama Romy?” Dinda bertanya keras dengan nada tak terima. Untungnya, jam pelajaran sudah selesai sejak tadi, kalau tidak, mereka pasti sudah dibawa ke ruang Bimbingan Konseling karena mengobrol saat jam pelajaran.

Juli menggeleng, lebih tak terima dari Dinda. “Apa yang bikin lo mikir ada yang nggak salah sama dia?”

Kening Dinda mengkerut. “Romy anak IPA.”

“Ya terus?”

“Maksud gue, berarti dia pinter dong?”

“Jadi maksud lo, kita yang anak bahasa ini bego, gitu?”

“Nggak gitu. Maksudnya...” Dinda terdiam sesaat sebelum berdeham dan melanjutkan. “Ya udah, lupain yang satu itu.” Perempuan itu tampak berpikir sejenak. “Romy jago olah raga. Kan lo tau dia atlet lari sekolah kita. Gimana nggak keren?”

“Lo nggak bisa lari?”

“Ya bisa sih..”

“Terus kerennya di mana?”

Dinda menghela nafas, mencoba menahan emosinya. “Romy anak band. Lo pernah dong liat dia main drum? Terus rambutnya berantakan dan dia keringetan. Terus –“

“Ansel anak band bukan?”

Dinda mengangguk.

“Ya udah.” Juli mengangkat bahunya acuh tak acuh.

Dinda mendengus keras. Tidak paham dengan jalan pikiran sahabatnya itu.

“Juli mana?”

Sebuah suara yang datang dari pintu masuk kelas 3 Bahasa—tempat Juli belajar—membuat hampir semua mata di dalam kelas menoleh dan beberapa di antara mereka tercekat. Bahkan Dinda sekali pun. Dan Juli, mau muntah.

Cuma karena seorang Romeo Adnan berdiri di ambang pintu dengan rambut agak berantakan dan baju sedikit berkeringat dengan ketampanan di atas rata-rata, kenapa mereka harus tercekat?

Dinda menyikut lengan Juli karena sahabatnya itu acuh dan malah diam saja padahal jelas-jelas Romy mencarinya.

Sebelum Juli sempat berdiri, Romy ternyata sudah berdiri di samping mejanya dengan wajah kesal. “Lo nggak bawa handphone?”

Oh iya. Ponsel Juli kan mati karena lupa dia charge semalam.

“Udah minum obat?”

Oh iya. Obat.

Tunggu. Juli bukannya penyakitan atau apa, dia hanya memiliki alergi terhadap cuaca dingin dan karena saat ini tengah musim dingin, Juli harus minum obat dua kali sehari. Kalau tidak, biasanya dia akan langsung kekurangan oksigen dan setelahnya kulitnya akan merah-merah.

Romy mengeluarkan sesuatu dari sakunya. “Pake handphone gue dulu. Tante Leta dari pagi nelponin gue dan nanyain lo. Lo mending telpon dia dan bilang lo baik-baik aja. Gue ada ujian hari ini.”

Setelah itu, Romy keluar dari kelas 3 Bahasa dan berjalan menuju kelasnya sendiri.

“Apa gue bilang. Apa yang salah sama Romy?” suara Dinda terdengar begitu Romy sudah tak terlihat.

Memang.

Apa yang salah dengan Romy?

Tidak ada.

Dan karena itu lah semuanya terasa salah.

Juli selalu merasa dirinya dikutuk.

Seperti kata Dinda, Romy itu pintar, jago olah raga, bisa main drum, dan rentetan hal lainnya yang tidak akan pernah habis jika dibicarakan. Romy terlalu pintar. Terlalu tampan. Terlalu baik. Terlalu perhatian. Intinya, Romy sempurna. Terlalu sempurna.

Sedangkan Juli, serba cukup. Yaa, cukup pintar. Cukup cantik. Cukup ...semuanya. Intinya, Juli hanya sampai pada tahap cukup.

Orang yang baru melihat Romy sekali saja, pasti akan langsung jatuh cinta.

Apa lagi Juli?

Yang sudah menghabiskan delapan belas tahun hidupnya bersama Romy.

Iya. Apa lagi Juli.

Ting.

Suara notifikasi di ponsel Romy membuat lamunan Juli terinterupsi. Perempuan itu melihat ponsel menyala Romy yang menunjukkan sesuatu di layar.

Miranda: kamu di mana? udah makan siang?

Dinda yang sepertinya melihat apa yang tengah dilihat Juli langsung berdeham canggung kemudian mengusap punggung sahabatnya, pelan.

Itu dia kesalahan terbesarnya.

Romy punya pacar.


[]

Bukan Romeo dan JulietTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang